Profil Lengkap Tabrani. ZA dan Model INSTAL yang Dikembangkannya

TABRANI. ZA dilahirkan di Gampong Ujung Tanoh, Kecamatan Lembah Sabil Kabupaten Aceh Barat Daya pada tanggal 14 Agustus 1986, merupakan putra bungsu atau kelima dari pasangan Almarhum Prof. Dr. Tgk. H. Guru Banta Sulaiman ZA dan Almarhumah Hj. Siti Asiyah, sekaligus merupakan putra ke 27 (putra bungsu) dari Almarhum Prof. Dr. Tgk. H. Guru Banta Sulaiman ZA. Tabrani. ZA memperistrikan seorang gadis dari desa Glee Jai Kec. Kuta Cot Glie Kab. Aceh Besar bernama Nurwahyuni, S.Pd.Gr.

Tabrani. ZA merupakan alumni Dayah Darussalam Labuhan Haji Aceh Selatan dan Dayah Ulee Titi Aceh Besar. Menempuh pendidikan dasar di SD Negeri Ujung Tanoh, Lulus Tahun 1998; SLTP Negeri 2 Manggeng - Aceh Barat Daya, Lulus Tahun 2001 dan MAN Labuhan Haji Barat-Aceh Selatan, Lulus Tahun 2005.

Kemudian, perjalanan pendidikannya berlanjut ke tingkat pendidikan tinggi pada universitas-universitas ternama. Pendidikan sarjana (S-1) pada tahun 2010 di tempuhnya pada Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry (Sekarang UIN Ar-Raniry) Banda Aceh pada Prodi Pendidikan Bahasa Arab. Kemudian tahun 2010 melanjutkan Master (S-2) dan mendalami Studi Islam dengan konsentrasi Pendidikan Islam pada Prodi Magister Studi Islam, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, lulus dengan predikat magna cumlaude (sangat terpuji), dan pada waktu yang sama juga menempuh pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada Prodi Magister Kajian Timur Tengah.

Jika dilihat dari perjalanan pendidikan yang dijalani Tabrani. ZA, merefleksikan nilai kemandirian dan keilmuan Tabrani. ZA dalam konteks yang sangat luas, dengan memadukan pendidikan dayah (pesantren) dan pendidikan umum, mencerminkan integrasi mendalam dari nilai-nilai falsafah bangsa yang terinternalisasi melalui berbagai tahapan pendidikan formal dan non-formal. Mulai dari pendidikan dasar, pendidikan dayah hingga tingkat pendidikan tinggi, Tabrani. ZA mengeksplorasi identitas dan pengetahuan yang mengakar pada nilai agama, kebangsaan, dan kemanusiaan. Pendidikan non-formal yang diikuti oleh Tabrani. ZA juga menunjukkan komitmennya terhadap pengembangan karakter dan kompetensi yang berkelanjutan serta untuk mendukung kepakarannya. Kursus-kursus dan pelatihan yang diambilnya, seperti kebhinekaan global dan keterampilan komunikasi, menggarisbawahi usahanya untuk memperkuat kapasitas interpersonal dan kepemimpinan, mengintegrasikan nilai-nilai praktis dengan basis pengetahuan teoretis yang telah dibangun sebelumnya.

Tabrani. ZA merupakan Founder sekaligus Pembina Yayasan Sosial Cendikia Demografis Independent serta Direktur Eksekutif SCAD Independent. Sejak 2013 sampai dengan sekarang, Tabrani. ZA aktif sebagai sebagai Dosen Tetap pada Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh dan sebagai dosen pada UIN Ar-Raniry Banda Aceh, serta sebagai tenaga pengajar pada Dayah Babul Maghfirah Aceh Besar.

Selain itu, Tabrani. ZA juga aktif sebagai Fasilitator Program Wawasan Kebinekaan Global, Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kemendikbudristek R.I., Fasilitator Program Guru Belajar dan Berbagi Direktorat Guru Pendidikan Dasar Kemendikbudristek R.I., Fasilitator Program Kampus Mengajar, Kemendikbudristek R.I., Managing Editor pada Jurnal Ilmiah Peuradeun dan Jurnal Didaktika Pendidikan Dasar Direktorat Guru Pendidikan Dasar Kemendikbudristek R.I., serta Editorial Board dan reviewer pada sejumlah jurnal Nasional dan International bereputasi.

Tabrani. ZA telah memiliki karier yang panjang dan beragam dalam dunia akademik dan penerbitan, dengan kontribusi yang signifikan dalam banyak aspek pendidikan dan pengembangan kurikulum, salah satunya yaitu aktif dalam pengembangan kurikulum Fakultas Tarbiyah dan Keguruan serta Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh bersama ASIAN LAW pada tahun 2015-2016. Tabrani. ZA juga terlibat dalam berbagai tim penyusun naskah akademik dan pedoman untuk Kemendikbud RI, termasuk naskah akademik untuk Guru Penggerak dan Pelajar Pancasila, tim penyusun naskah akademik untuk program Guru Belajar dan Berbagi. Keseluruhan aktivitasnya mencerminkan dedikasi yang mendalam terhadap peningkatan kualitas pendidikan dan pengembangan karakter di Indonesia.

Sebagai seorang jihadis jurnal, Tabrani. ZA memulai perjalanannya sebagai Assistant Editor di Jurnal Al-Jamiah UIN Sunan Kalijaga dan Jurnal Millah UII Yogyakarta pada tahun 2011, dan terus memperdalam pengalaman editorialnya dengan menjadi bagian dari pengelola dan reviewer serta pendamping pada berbagai jurnal Nasional dan Internasional bereputasi hingga saat ini, serta mulai tahun 2022 menjadi Wakil Ketua Umum Relawan Jurnal Indonesia Wilayah Aceh. 

Tabrani. ZA juga dikenal sebagai pendiri sekaligus sebagai managing editor pada Jurnal Ilmiah Peuradeun. Sejak 2017, Tabrani. ZA telah memegang peran penting dalam proses akreditasi jurnal ilmiah di UIN Ar-Raniry Banda Aceh serta beberapa PTKIN lainnya di Indonesia. Dan sejak tahun 2020, Tabrani. ZA menjadi fasilitator pendampingan akreditasi jurnal di Direktorat Pendidikan Islam Kementerian Agama RI. Terbaru, pada tahun 2023, Tabrani. ZA menjadi anggota dari Asian Council of Science Editors, yang menegaskan komitmennya terhadap peningkatan kualitas editorial dan penerbitan ilmiah di Asia. Aktivitas keanggotaan ini secara keseluruhan mencerminkan dedikasi Tabrani. ZA dalam memajukan pendidikan, penelitian dan publikasi pada skala global.

Di samping sebagai Dosen dan editor, dengan berbekal banyak pengalaman, Tabrani. ZA mengekspresikan filosofi pendidikannya melalui partisipasi aktif dan kepemimpinan dalam berbagai organisasi kemasyarakatan dan Pemuda, mulai dari keanggotaannya di HMI Aceh dan organisasi intra dan ekstra kampus lainnya. Selain itu, Tabrani. ZA juga terlibat sebagai anggota di komunitas Penulis Tikar Pandan DOKARIM Aceh, dan Program Pendidikan Damai. Kepemimpinannya mulai menonjol saat dia menjabat sebagai Ketua Umum PB. IMADA (2008-2013), kemudian sebagai pengurus di berbagai organisasi lainnya, seperti sebagai Sekjen Gerakan Intelektual Se-Aceh, sebagai anggota bidang advokasi di Forum Pelopor Perdamaian Aceh yang diinisiasi oleh Kementerian Sosial RI., Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) Aceh, Asosiasi Dosen Indonesia (ADI), Ikatan Guru Indonesia (IGI), Asosiasi Dosen Republik Indonesia (ADRI), Dewan Pakar PC Pergunu Kota Banda Aceh, Pengurus GP Ansor Aceh Besar, Pengurus PW Pergunu Aceh, Wakil Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Alumni Dayah (ISAD), Khatib Syuriah MWCNU Baitussalam Aceh Besar, Pengurus PW. BKPRMI Aceh, Pengurus Wilayah Forum Pendidik Madrasah Inklusif Aceh, dan Wakil Ketua PW Komisi Nasional Pendidikan (Komnasdik) Aceh. Ini menegaskan perannya yang sangat penting dalam pengembangan pendidikan dan keagamaan di Aceh. Di tingkat nasional kiprah dan kepemimpinannya juga terlihat sebagai Sekjen DPP LKBH Tendikindo, Pengurus Pusat Permapendis Indonesia, dan Koordinator Departemen Penelitian, Karya Ilmiah dan Publikasi PP PERGUNU, menunjukkan dedikasi dan pengaruhnya yang signifikan dalam mengadvokasi pengembangan pendidikan, penelitian, publikasi dan keagamaan di Indonesia.

Sebagai seorang akademisi, Tabrani. ZA juga secara aktif mengambil bagian dalam serangkaian pelatihan, seminar, konferensi, dan lokakarya yang bertujuan untuk pengembangan profesi. Keterlibatannya dalam berbagai forum akademis ini merupakan manifestasi dari komitmen filosofis Tabrani. ZA untuk pendidikan berkelanjutan dan pembelajaran sepanjang hayat. Hal ini mencerminkan pandangan bahwa pengetahuan adalah sebuah proses yang dinamis dan interaktif, bukan sekadar akumulasi fakta yang statis. Dalam setiap seminar atau konferensi, baik nasional maupun internasional, Tabrani. ZA tidak hanya sebagai peserta, tetapi sering kali sebagai pembicara yang memberikan wawasan baru yang dapat mempengaruhi cara pandang dan praktek pengajaran di bidang pendidikan Islam dan filsafat. Partisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan ini tidak hanya meningkatkan kapasitas individu Tabrani. ZA sebagai pendidik dan peneliti tetapi juga menegaskan perannya sebagai pemimpin pemikiran dalam komunitas akademis, yang berdedikasi untuk memajukan pemahaman tentang cara terbaik mengintegrasikan nilai-nilai filosofis dalam pendidikan.

Dari berbagai publikasi yang telah dilakukan, terlihat jelas bahwa Tabrani. ZA memiliki minat yang konsisten terhadap isu-isu pendidikan, metodologi, filsafat, dan pengembangan moral yang diintegrasikan dalam kerangka pendidikan Islam. Beberapa judul karya Tabrani. ZA, seperti “Pancasila as the Core Value for Character Building in Islamic Higher Education Institutions”, “The Effect of Spiritual and Social Norm in Moral Judgement”, “The Shift of Paradigm in Comprehending Religion: From Idealism to Historicity” dan “The Role of KKNI Curriculum in Supporting the Development of Education at the LPTK UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta” secara langsung menunjukkan keterkaitan dengan disertasi yang ditulis oleh Tabrani. ZA dalam menyelesaikan program Doktornya pada Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Publikasi-publikasi ini tidak hanya menyoroti pentingnya pengintegrasian nilai-nilai filosofis dan nasional dalam kurikulum pendidikan Islam, tetapi juga memperlihatkan pendekatan multidisipliner yang diadopsi oleh Tabrani. ZA untuk menggali lebih dalam tentang bagaimana nilai-nilai tersebut bisa dibentuk dan diinternalisasikan dalam konteks pendidikan di PTKIN.

Selain itu, penerbitan bukunya seperti “Metodologi Penelitian Kualitatif & Grounded Theory”, “Metodologi Penelitian Berbasis Fenomenologis”, “Filsafat Ilmu dan Logika Pengetahuan”, “Transformasi Pendidikan Islam dalam Wajah Tradisi Kontemporer”, “Navigasi Perubahan: Transformasi Pendidikan Agama dalam Dinamisme”, “Menggugat Logika Nalar Rasionalisme Aristoteles”, “Dialektika Agama dan Kritik Sosial”, “Arah Baru Metodologi Studi Islam”, serta “Persuit Epistemology of Islamic Studies” - mengindikasikan keahlian Tabrani. ZA dalam metodologi penelitian dan pemikiran filsafat, yang merupakan aspek penting dalam analisis sosio-epistemologis yang di terapkan dalam disertasinya. Keseluruhan ini menegaskan bahwa Tabrani. ZA tidak hanya mendalami teori dan praksis dalam bidangnya, tetapi juga berupaya mengaplikasikan pengetahuan tersebut untuk memajukan pendidikan di Indonesia, khususnya dalam konteks internalisasi nilai falsafah bangsa dalam kurikulum. Kesinambungan antara publikasi Tabrani. ZA dan disertasi yang dikerjakannya merupakan bukti dari komitmen akademis Tabrani. ZA untuk berkontribusi secara teoritis dan praktis dalam bidang pendidikan Islam dan filsafat.

Selain itu, Tabrani. ZA juga dikenal sebagai penulis yang aktif, tercatat lebih dari 12 artikel yang ditulisnya terindek pada database scopus, 33 artikel terindek pada Web of Science, 124 artikel pada jurnal nasional terakreditasi dan berISSN, 20 judul buku, 7 chapter book yang diterbitkan oleh penerbit internasional serta 12 buku sebagai editor. Salah satu tonggak penting dalam karirnya sebagai dosen adalah diterbitkan bukunya “The Paradigm of Science in Islam” pada tahun 2020 oleh salah satu penerbit ternama di Jerman, dan sejak saat itu, buku tersebut telah diterjemahkan ke dalam 12 bahasa dunia, ini membuktikan penerimaan dunia internasional terhadap karyanya. Atas prestasi dan karya-karyanya, Tabrani. ZA mendapatkan dua penghargaan bergengsi sekaligus, yaitu sebagai Dosen Peneliti Kreatif, dan sebagai Academic Leader Bidang Pendidikan Islam pada anugerah Dosen Permapendis Award tahun 2024. Penghargaan ini menunjukkan pengakuan atas dedikasinya dalam bidang pendidikan, penelitian dan kepemimpinan akademik.


Model Integratif-Strukturalis (INSTAL)

Tabrani. ZA dalam disertasinya yang berjudul Internalisasi Nilai Falsafah Bangsa dalam Kurikulum PTKIN Aceh (Suatu Analisis Sosio-Epistemologis), yang telah dipertahankannya pada tanggal 20 Desember 2024 dihadapan Dewan Penguji yang dipimpin langsung oleh Rektor UIN Ar-Raniry Banda Aceh Prof. Dr. Mujiburrahman, M. Ag dengan sebagai Ketua Sidang, dengan didampingi Sekretaris Sidang, Dr. Sehat Ihsan Shadiqin, M.Ag. Para penguji terdiri dari Prof. Dr. Syamsul Rijal, M.Ag, Prof. Dr. T. Zulfikar, M.Ed, Dr. Ismail Muhammad, M.Ag, Prof. Dr. Saifullah Idris, M.Ag, dan Prof. Dr. Warul Walidin AK., MA. Hadir pula penguji eksternal dari Universiti Utara Malaysia, Prof. Dr. Mohd Zailani bin Mohd Yusoff.

Dalam disertasinya, Tabrani. ZA menyoroti tiga hal, Pertama, sistem pendidikan dan kurikulum PTKIN Aceh, Kedua, nilai-nilai falsafah bangsa yang terinternalisasikan dalam kurikulum PTKIN Aceh, dan ketiga proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan internalisasi nilai falsafah bangsa dalam kurikulum PTKIN Aceh. Hasil penelitian DIsertasinya mengungkapkan bahwa, Pertama, sistem pendidikan di PTKIN Aceh dirancang secara holistik, mengintegrasikan ajaran Islam dan ilmu umum melalui kurikulum KKNI dan pendekatan OBE. Kurikulum ini menekankan pembentukan karakter dan moral mahasiswa, melalui berbagai mata kuliah terintegrasi serta program pengembangan karakter seperti program wajib Ma`had, moderasi beragama, program insan Qur`ani, serta kegiatan ekstrakurikuler lainnya. Kurikulum ini terus diperbarui mengikuti konsep triple helix, namun, pendekatannya sering kali terbatas pada aspek permukaan, yang lebih fokus pada aspek kognitif dan akademik, mengesampingkan dimensi afektif dan psikomotor yang penting dalam pembentukan karakter dan identitas mahasiswa. Selain itu, penerapan konsep triple helix cenderung membuat kurikulum berorientasi pasar tanpa mempertimbangkan kritik terhadap struktur sosial yang lebih luas.

Kedua, nilai-nilai falsafah bangsa yang diinternalisasikan dalam Kurikulum PTKIN Aceh berfokus pada lima nilai inti: religius, nasionalisme, kemandirian, gotong-royong, dan integritas. Nilai-nilai ini menjadi fondasi utama dan penerapannya mencakup integrasi prinsip-prinsip Islam dan Pancasila dalam berbagai aspek pendidikan, mulai dari perkuliahan hingga kegiatan ekstrakurikuler dan non-kurikuler. Namun, internalisasi nilai ini sering hanya bersifat instruktif tanpa praktik transformatif dan inovatif. Tantangan internal dan eksternal, seperti resistensi dari pendidik dan sistem pendidikan yang kaku, menghambat penerapan pendekatan yang lebih fleksibel dan holistik.

Ketiga, proses internalisasi nilai-nilai falsafah bangsa di PTKIN Aceh melibatkan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan nilai utama melalui kurikulum dan aktivitas kemahasiswaan. Lima pilar utama yang mendukung proses ini adalah tridarma perguruan tinggi, budaya organisasi, kegiatan kemahasiswaan, budaya akademik, dan kehidupan sehari-hari mahasiswa, ditambah dengan kearifan lokal Aceh dan moderasi beragama. Sedangkan pengawasan dilaksanakan dengan model evaluasi CIPP (Context, Input, Process, Product). Akan tetapi, terdapat kekurangan terutama dalam inklusivitas. Upaya homogenisasi nilai sering mengabaikan keragaman sosial budaya Aceh, tidak mencerminkan pendapat semua segmen masyarakat. Metode top-down dalam perencanaan dan pengawasan menghambat partisipasi mahasiswa dan dosen, menciptakan kesenjangan antara kebijakan dan realitas, serta mengurangi efektivitas penerapan nilai. Selain itu, feedback sering tidak diikuti tindakan perbaikan yang efektif, menghilangkan peluang intervensi tepat waktu.

Temuan yang didapatkan Tabrani. ZA dalam disertasinya menyoroti kebutuhan untuk mengembangkan model internalisasi nilai dalam kurikulum PTKIN Aceh yang tidak hanya menekankan pencapaian akademik tetapi juga pembangunan karakter yang komprehensif. Tabrani. ZA menawarkan model baru yang dinamakan Integratif-Strukturalis”, yang disingkat dengan “INSTAL”. Model INSTAL yang ditawarkan oleh Tabrani. ZA ini merupakan kerangka kerja baru dalam kurikulum PTKIN Aceh, yang bertujuan untuk mengintegrasikan pendekatan struktural dan kultural dalam proses internalisasi nilai dalam kurikulum. Tabrani. ZA dalam pengembangan model ini mengambil inspirasi dan berlandaskan pada aliran strukturalisme dan pragmatisme, dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip teori strukturasi dari Anthony Giddens serta diperkaya dengan prinsip konstruktivisme dari Jean Piaget sebagai kerangka dasar.

Kata “Instal” serupa dengan kata “install” dalam bahasa Inggris, yang berkonotasi pada proses memasang atau mengintegrasikan sesuatu sehingga menjadi bagian permanen dari sistem. Namun, dalam konteks model yang ditawarkan oleh Tabrani. ZA, yaitu usaha untuk memasukkan nilai-nilai secara mendalam dan berkelanjutan dalam kurikulum sehingga efeknya tahan lama dan alami. Penggunaan kata INSTAL selain singkatan dari model Integratif-Strukturalis, juga mempunya arti dan filosofi tersendiri, yaitu Integration, Naturalization, Structuralism, Transformation, Adaptability, dan Longevity.

Model INSTAL yang dikembangkan Tabrani. ZA tidak hanya berfungsi sebagai pendekatan internalisasi nilai dalam kurikulum, tetapi juga mencerminkan esensi dari paradigma pendidikan tinggi transformatif yang dipaparkan dalam kebijakan Kemendiktisaintek dalam Rapat Kerja dengan Komisi X DPR RI. pada tanggal 6 November 2024. Dengan menekankan kolaborasi, pemberdayaan, dan inovasi dalam proses pendidikan, model ini selaras dengan visi pendidikan tinggi yang berorientasi pada pemecahan masalah sosial dan pembangunan nasional. Pendekatan ini juga menggabungkan nilai-nilai lokal dan nasional dalam kurikulum yang berbasis pada KKNI, sehingga lulusan PTKIN Aceh diharapkan tidak hanya kompeten secara teknis tetapi juga memiliki integritas dan tanggung jawab sosial yang kuat, sebagaimana diharapkan dalam kebijakan paradigma baru pendidikan tinggi Indonesia yaitu “Paradigma Transformasional”.

Model INSTAL dirancang oleh Tabrani. ZA untuk mengatasi kekurangan dalam pendekatan holistik dan organik yang bekerja secara terpisah, memfasilitasi integrasi yang lebih efektif dalam proses internalisasi nilai dalam kurikulum. Model ini berfokus pada integrasi nilai-nilai keagamaan, kearifan lokal, dan moderasi agama dengan kurikulum akademik, menonjolkan pentingnya pendidikan karakter dan pembangunan kapasitas kritis dan reflektif mahasiswa.

Dalam konteks epistemologis, model INSTAL bisa dilihat sebagai refleksi dari bagaimana pengetahuan—dalam hal ini, nilai-nilai keagamaan, kearifan lokal, dan moderasi agama sebagai bagian dari nilai falsafah bangsa—dipandang sebagai sesuatu yang tidak hanya dipelajari tapi juga diinternalisasi melalui pendekatan yang holistik dan organik. Ini mengindikasikan pemahaman bahwa proses pembelajaran dan internalisasi nilai tidak hanya terjadi melalui transmisi informasi yang eksplisit, tapi juga melalui interaksi sosial, pengalaman, dan refleksi yang mendalam yang terjadi di lingkungan pendidikan.

Model INSTAL yang dikembangkan oleh Tabrani. ZA menawarkan pandangan epistemologis yang mendalam tentang bagaimana nilai-nilai falsafah bangsa diinternalisasikan dalam kurikulum PTKIN Aceh. Pendekatan ini memandang internalisasi nilai tidak hanya sebagai proses akademik, tetapi sebagai fenomena yang kompleks dan multidimensi yang melibatkan seluruh aspek kehidupan mahasiswa. Dalam konteks ini, pendidikan tidak sekedar menjadi transfer pengetahuan, tetapi juga sebagai wadah transformasi sosial dan personal, di mana nilai falsafah bangsa menjadi pusat dari proses pembelajaran dan pertumbuhan pribadi.

Model INSTAL yang dikembangkan oleh Tabrani. ZA memanfaatkan dua pendekatan utama, yaitu pendekatan holistik dan pendekatan organik. Melalui dua pendekatan tersebut, model ini berupaya menciptakan sistem pendidikan yang fleksibel, namun tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip moral dan etika yang kuat, sehingga mampu menjawab tantangan zaman tanpa melupakan akar budaya dan agama. Dengan demikian, PTKIN tidak hanya menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi juga benteng penjaga nilai-nilai luhur bangsa.

Disertasi Tabrani. ZA, tidak hanya memperkuat peran PTKIN Aceh sebagai pusat pendidikan Islam moderat, tetapi juga menjadi referensi penting untuk pengembangan kurikulum yang adaptif di tingkat nasional. Model yang ditawarkan oleh Tabrani. ZA diharapkan dapat menjadi referensi penting bagi pengembangan kurikulum di PTKIN, tidak hanya di Aceh tetapi juga di tingkat nasional.

Tawarkan Model Integratif-Strukturalis (INSTAL), Punggawa Peuradeun Raih Gelar Doktor

Banda Aceh – Pada hari Jum'at, 20 Desember 2024, Tabrani ZA berhasil mempertahankan disertasinya dan meraih gelar doktor dalam Sidang Terbuka Promosi Doktor yang digelar oleh Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh. Sidang ini dipimpin oleh Rektor UIN Ar-Raniry, Prof. Dr. Mujiburrahman, M.Ag, sebagai Ketua Sidang, dengan didampingi Sekretaris Sidang, Dr. Sehat Ihsan Shadiqin, M.Ag. Para penguji terdiri dari Prof. Dr. Syamsul Rijal, M.Ag, Prof. Dr. T. Zulfikar, M.Ed, Dr. Ismail Muhammad, M.Ag, Prof. Dr. Saifullah Idris, M.Ag, dan Prof. Dr. Warul Walidin AK., MA. Hadir pula penguji eksternal dari Universiti Utara Malaysia, Prof. Dr. Mohd Zailani bin Mohd Yusoff.

Promotor utama disertasi Tabrani adalah Prof. Dr. Warul Walidin AK., MA., didampingi oleh Prof. Dr. Saifullah Idris, M.Ag., sebagai Promotor 2, mengangkat judul “Internalisasi Nilai Falsafah Bangsa dalam Kurikulum PTKIN Aceh (Suatu Analisis Sosio-Epistemologis)”.

Dalam disertasinya, Tabrani ZA menawarkan temuan inovatif berupa “Model Integratif-Strukturalis” atau yang disingkat model “INSTAL”. Model INSTAL yang ditawarkan ini merupakan kerangka kerja baru dalam kurikulum PTKIN Aceh, yang bertujuan untuk mengintegrasikan pendekatan holistik, organik, dan struktural untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang dinamis, relevan, dan berkelanjutan. dalam proses internalisasi nilai dalam kurikulum. Dengan mempertimbangkan konteks lokal Aceh, model ini juga merespons tantangan globalisasi dan radikalisme, sekaligus memperkuat moderasi Islam dalam pendidikan.

Kata “Instal” serupa dengan kata “install” dalam bahasa Inggris, yang berkonotasi pada proses memasang atau mengintegrasikan sesuatu sehingga menjadi bagian permanen dari sistem. Namun, dalam konteks model yang ditawarkan oleh Tabrani. ZA, yaitu usaha untuk memasukkan nilai-nilai secara mendalam dan berkelanjutan dalam kurikulum sehingga efeknya tahan lama dan alami. Penggunaan kata INSTAL selain singkatan dari model Integratif-Strukturalis, juga mempunya arti dan filosofi tersendiri, yaitu Integration, Naturalization, Structuralism, Transformation, Adaptability, dan Longevity.

Tabrani ZA dalam pengembangan model ini mengambil inspirasi dan berlandaskan pada aliran strukturalisme dan pragmatisme, dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip teori strukturasi dari Anthony Giddens serta diperkaya dengan prinsip konstruktivisme dari Jean Piaget sebagai kerangka dasar untuk menciptakan pendidikan yang adaptif, relevan, dan komprehensif. Temuan ini menyoroti kebutuhan akan kurikulum yang tidak hanya berorientasi pada pencapaian akademik tetapi juga pada pembangunan karakter yang holistik, sesuai dengan nilai-nilai falsafah bangsa.

Dalam sidang tersebut, tim penguji memberikan apresiasi atas kontribusi intelektual dan relevansi disertasi Tabrani dengan kebutuhan pendidikan modern. Penelitian ini tidak hanya memperkuat peran PTKIN Aceh sebagai pusat pendidikan Islam moderat, tetapi juga menjadi referensi penting untuk pengembangan kurikulum yang adaptif di tingkat nasional. Model yang ia tawarkan diharapkan dapat menjadi referensi penting bagi pengembangan kurikulum di PTKIN, tidak hanya di Aceh tetapi juga di tingkat nasional.

Dalam pidato penutupnya, Tabrani menyampaikan rasa syukur kepada Allah SWT serta terima kasih kepada promotor, penguji, keluarga, dan semua pihak yang telah mendukungnya. Teristimewa kepada Istrinya Nurwahyuni S.Pd.Gr. yang telah mendampingi perjalanannya dan terus memberikan semangat kepadanya dalam mengapai cita-citanya. Ia berharap temuannya dapat memberikan manfaat besar bagi dunia pendidikan, khususnya dalam menghadapi tantangan globalisasi dan membangun generasi yang berkarakter mulia.

Sidang promosi doktor ini turut dihadiri oleh keluarga, kolega, para akademisi dan praktisi pendidikan. Selain itu, terlihat hadir dalam sidang promosi tersebut Rektor IAIN Lhokseumawe, Rektor IAIN Langsa, Ketua STAIN Tgk Dirundeng Meulaboh, Rektor dan Dekan FKIP Universitas Serambi Mekkah, Ketua LP2M, Ketua SPI, Wakil Dekan 1 FTK, para kepada Pusat di lingkungan LP2M UIN Ar-Raniry, beberapa Ketua Prodi di lingkungan UIN Ar-Raniry, beberapa unsur pimpinan dari Universitas Syiah Kuala, serta beberapa unsur pimpinan ORMAS dan OKP di Aceh.

Profil Tabrani ZA

Tabrani ZA lahir di Desa Ujung Tanah, Kecamatan Lembah Sabil, Aceh Barat Daya. Ia adalah anak bungsu dari pasangan almarhum Prof. Dr. Tgk. Guru Banta Sulaiman ZA dan almarhumah Hj. Siti Asiyah. Sebagai alumni Dayah Darussalam Labuhan Haji, Aceh Selatan, Tabrani dikenal luas atas dedikasi dan kontribusinya dalam dunia pendidikan, penelitian dan publikasi ilmiah.

Saat ini, Tabrani ZA aktif sebagai dosen di Fakultas Agama Islam Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh serta Dosen pada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan dikenal luas sebagai pendiri sekaligus editor Jurnal Ilmiah Peuradeun, salah satu jurnal ilmiah terkemuka di Indonesia yang berfokus pada isu-isu sosial dan pendidikan dengan pendekatan interdisipliner. Di bawah kepemimpinannya, jurnal ini telah menjadi rujukan penting bagi akademisi dan peneliti di tingkat nasional maupun internasional dan telah terindek pada database scopus dengan peringkat Q1 serta Web of Science.

Selain itu ia juga menjabat sebagai Direktur SCAD Independent, Pengurus GP Ansor Aceh Besar, PP Pergunu, Wakil Ketua Umum Ikatan Sarjana Alumni Dayah Aceh (ISAD), Wakil Ketua Umum Komnasdik Aceh, serta Sekretaris Jenderal DPP LKBH Tendikindo.

Sebagai penulis buku “The Paradigm of Science in Islam”, yang telah diterjemahkan ke dalam 12 bahasa dunia, Tabrani juga dikenal atas dedikasinya dalam mendampingi akreditasi jurnal ilmiah di berbagai perguruan tinggi Islam sejak 2017. Sejak 2020, ia menjadi fasilitator pendampingan akreditasi jurnal di Direktorat Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, dan sejak 2023 bergabung sebagai anggota Asian Council of Science Editors.

Beberapa karya publikasinya tercatat ada 12 artikel terindek scopus, 33 artikel terindek Web of Science, 124 artikel pada jurnal nasional terakreditasi dan berISSN, 20 judul buku, 7 chapter book internasional serta 12 buku sebagai editor, menegaskan bahwa Tabrani ZA tidak hanya mendalami teori dan praksis dalam bidangnya, tetapi juga berupaya mengaplikasikan pengetahuan tersebut untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Kesinambungan antara publikasi dan disertasi yang dikerjakannya merupakan bukti dari komitmen akademis Tabrani ZA untuk berkontribusi secara teoritis dan praktis dalam bidang pendidikan Islam dan filsafat. 

Atas prestasi dan karya-karyanya, Tabrani ZA mendapatkan dua penghargaan bergengsi sekaligus, yaitu sebagai Dosen Peneliti Kreatif, dan sebagai Academic Leader Bidang Pendidikan Islam pada anugerah Dosen Permapendis Award 2024. Penghargaan ini menunjukkan pengakuan atas dedikasinya dalam bidang pendidikan, penelitian dan kepemimpinan akademik.

Triangulasi dalam Penelitian Kualitatif

 Oleh: Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M. Si

Salah satu pertanyaan penting dan sering muncul dari para peneliti dan mahasiswa yang sedang melakukan penelitian adalah masalah triangulasi. Banyak yang masih belum memahami  makna dan  tujuan tiangulasi dalam penelitian, khususnya penelitian kualitatif. Karena kurangnya pemahaman itu, sering kali muncul persoalan tidak saja antara mahasiswa dan dosen dalam proses pembimbingan, tetapi juga antar dosen pada saat menguji skripsi, tesis, dan  disertasi.  Hal ini tidak akan terjadi jika masing-masing memiliki pemahaman yang cukup mengenai triangulasi. Umumnya pertanyaan berkisar apakah triangulasi perlu dalam penelitian dan jika perlu, bagaimana melakukannya. Berikut uraian ringkasnya yang disari dari berbagai sumber dan pengalaman penulis selama ini.

Triangulasi pada hakikatnya merupakan pendekatan multimetode yang dilakukan peneliti pada saat mengumpulkan  dan menganalisis data. Ide dasarnya adalah bahwa fenomena yang diteliti dapat dipahami dengan baik sehingga diperoleh kebenaran tingkat tinggi jika didekati dari berbagai sudut pandang. Memotret fenomena tunggal dari sudut pandang yang berbeda-beda akan memungkinkan diperoleh tingkat kebenaran yang handal.  Karena itu, triangulasi ialah usaha mengecek kebenaran data atau informasi yang diperoleh peneliti dari berbagai sudut pandang yang berbeda dengan cara mengurangi sebanyak  mungkin bias  yang terjadi pada saat pengumpulan dan analisis data.

Sebagaimana diketahui dalam penelitian kualitatif peneliti itu sendiri  merupakan instrumen utamanya. Karena itu, kualitas penelitian kualitatif sangat tergantung pada kualitas diri penelitinya, termasuk pengalamannya melakukan penelitian merupakan sesuatu yang sangat berharga. Semakin banyak pengalaman seseorang dalam melakukan penelitian, semakin peka memahami gejala atau fenomena yang diteliti. Namun demikian, sebagai manusia, seorang peneliti sulit terhindar dari bias atau subjektivitas. Karena itu, tugas peneliti mengurangi semaksimal mungkin bias yang terjadi agar diperoleh kebenaran utuh. Pada titik ini para penganut kaum positivis meragukan tingkat ke’ilmiah’an  penelitan kualitatif. Malah ada yang secara  ekstrim menganggap penelitian kualitatif tidak ilmiah.

Sejarahnya, triangulasi merupakan teknik yang dipakai untuk melakukan survei dari tanah daratan dan laut untuk menentukan  satu titik tertentu  dengan menggunakan beberapa cara yang berbeda. Ternyata teknik semacam ini terbukti mampu mengurangi bias dan kekurangan yang diakibatkan oleh pengukuran dengan satu metode atau cara saja. Pada masa 1950’an hingga 1960’an, metode tringulasi tersebut mulai dipakai  dalam penelitian kualitatif sebagai cara untuk meningkatkan pengukuran validitas dan memperkuat kredibilitas temuan penelitian dengan cara membandingkannya dengan  berbagai pendekatan yang berbeda.

Karena menggunakan terminologi dan cara yang mirip dengan model paradigma positivistik (kuantitatif), seperti pengukuran dan validitas, triangulasi mengundang perdebatan cukup panjang di antara para ahli penelitian kualitatif sendiri. Alasannya, selain mirip dengan cara dan metode penelitian kuantitatif, metode yang berbeda-beda memang dapat dipakai untuk mengukur aspek-aspek yang berbeda, tetapi toh juga akan menghasilkan data yang berbeda-beda pula. Kendati terjadi perdebatan sengit, tetapi seiring dengan perjalanan waktu, metode triangulasi semakin lazim dipakai dalam penelitian kualitatif karena terbukti mampu mengurangi bias dan meningkatkan kredibilitas penelitian.

Dalam berbagai karyanya,  Norman K. Denkin  mendefinisikan triangulasi sebagai gabungan atau kombinasi berbagai metode yang dipakai untuk mengkaji fenomena yang saling terkait dari sudut pandang dan perspektif yang berbeda. Sampai saat ini, konsep Denkin ini dipakai oleh para peneliti kualitatif di berbagai bidang. Menurutnya, triangulasi meliputi empat hal, yaitu: (1)  triangulasi metode, (2) triangulasi antar-peneliti (jika penelitian dilakukan dengan kelompok), (3) triangulasi sumber data, dan (4) triangulasi teori. Berikut penjelasannya.

1. Triangulasi metode dilakukan dengan cara membandingkan informasi atau data  dengan cara yang berdeda. Sebagaimana dikenal, dalam penelitian kualitatif peneliti menggunakan metode wawancara, obervasi, dan survei. Untuk memperoleh kebenaran informasi yang handal dan gambaran yang utuh mengenai informasi tertentu, peneliti bisa menggunakan metode wawancara bebas dan wawancara terstruktur. Atau, peneliti menggunakan wawancara dan obervasi atau pengamatan untuk mengecek kebenarannya. Selain itu, peneliti juga bisa menggunakan informan yang berbeda untuk mengecek kebenaran informasi tersebut. Melalui berbagai perspektif atau pandangan diharapkan diperoleh hasil yang mendekati kebenaran. Karena itu, triangulasi tahap ini dilakukan jika data atau informasi yang diperoleh dari subjek atau informan penelitian diragukan kebenarannya. Dengan demikian, jika data itu sudah jelas, misalnya berupa teks atau naskah/transkrip film, novel dan sejenisnya, triangulasi tidak perlu dilakukan. Namun demikian, triangulasi aspek lainnya tetap dilakukan.

2. Triangulasi antar-peneliti dilakukan dengan cara menggunakan lebih dari satu orang dalam pengumpulan dan analisis data. Teknik ini diakui memperkaya khasanah pengetahuan mengenai informasi yang digali dari subjek penelitian. Tetapi perlu diperhatikan bahwa orang yang diajak menggali data itu harus yang telah memiliki pengalaman penelitian dan  bebas dari konflik kepentingan agar tidak justru merugikan peneliti dan melahirkan bias baru dari triangulasi.

3. Triangulasi sumber data adalah menggali kebenaran informai tertentu melalui berbagai metode dan sumber perolehan data. Misalnya, selain melalui wawancara dan observasi, peneliti bisa menggunakan observasi terlibat (participant obervation), dokumen tertulis, arsif, dokumen sejarah, catatan resmi, catatan atau tulisan  pribadi dan gambar atau foto. Tentu masing-masing cara  itu akan menghasilkan bukti atau data yang berbeda, yang selanjutnya akan memberikan pandangan (insights) yang berbeda pula mengenai fenomena yang diteliti. Berbagai pandangan itu akan melahirkan keluasan pengetahuan untuk memperoleh kebenaran handal.

4. Terakhir adalah triangulasi teori. Hasil akhir penelitian kualitatif berupa sebuah rumusan informasi atau thesis statement.  Informasi tersebut selanjutnya dibandingkan dengan perspektif teori yang televan untuk menghindari bias individual peneliti atas temuan atau kesimpulan yang dihasilkan. Selain itu, triangulasi teori dapat meningkatkan kedalaman pemahaman asalkan peneliti mampu  menggali pengetahuan teoretik secara mendalam atas hasil analisis data yang telah diperoleh. Diakui tahap ini paling sulit sebab peneliti dituntut memiliki expert judgement ketika membandingkan temuannya dengan perspektif tertentu, lebih-lebih jika  perbandingannya  menunjukkan hasil yang jauh berbeda.

Mengakhiri tulisan ini, saya ingin menyatakan bahwa triangulasi menjadi sangat penting dalam penelitian kualitatif, kendati pasti menambah waktu dan biaya seta tenaga. Tetapi harus diakui bahwa triangulasi dapat meningkatkan kedalaman pemahaman peneliti baik mengenai fenomena yang diteliti maupun konteks di mana fenomena itu muncul. Bagaimana pun, pemahaman yang mendalam (deep understanding) atas fenomena yang diteliti  merupakan nilai yang harus diperjuangkan oleh setiap peneliti kualitatif. Sebab, penelitian kualitatif lahir untuk menangkap arti (meaning) atau memahami gejala, peristiwa, fakta, kejadian, realitas atau masalah tertentu mengenai peristiwa sosial dan kemanusiaan dengan kompleksitasnya secara mendalam, dan bukan untuk  menjelaskan (to explain) hubungan antar-variabel atau membuktikan hubungan sebab akibat atau korelasi dari suatu masalah tertentu. Kedalaman pemahaman akan diperoleh hanya jika data cukup kaya, dan berbagai perspektif digunakan untuk memotret sesuatu fokus masalah secara komprehensif. Karena itu, memahami dan menjelaskan jelas merupakan dua wilayah yang jauh berbeda. Selamat mencoba!

Sumber: https://www.uin-malang.ac.id/r/101001/triangulasi-dalam-penelitian-kualitatif.html

Integrasi Empat Pilar UNESCO dalam Sistem Pendidikan Indonesia

Oleh: Muhammad Aqshadigrama

Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Setiap manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapan dan dimanapun ia berada. Pendidikan sangat penting, artinya tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan berdaya saing.

Tujuan pendidikan yang diharapkan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman, bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat jasmani rohani, mandiri. Serta tertanam kuat rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

Pendidikan harus mampu mempersiapkan warga negara agar dapat berperan aktif dalam seluruh lapangan kehidupan, cerdas, aktif, kreatif, terampil, jujur, disiplin, bermoral tinggi, demokratis, dan toleran yang mengutamakan persatuan dan bukan perpecahan.

Mempertimbangkan pendidikan anak-anak sama dengan mempersiapkan generasi yang akan datang. Hati seorang anak bagaikan sebuah plat fotografik yang tidak bergambar apa-apa dan siap merefleksikan semua yang ditampakkan padanya.

UNESCO adalah organisasi PBB yang bergerak dalam bidang pendidikan dan kebudayaan telah mencanangkan empat pilar pendidikan sekarang dan masa depan, yang perlu dikembangkan oleh seluruh lembaga pendidikan khususnya lembaga pendidikan formal. Empat pilar tersebut ialah: (1) learning to Know (belajar untuk mengetahui), (2) learning to do (belajar untuk terampil melakukan sesuatu), (3) learning to be (belajar untuk menjadi seseorang), dan (4) learning to live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama).

Dalam rangka merealisasikan learning to know, tenaga pendidik seyogyanya berfungsi sebagai fasilitator yang dapat menuntun atau mengarahkan para peserta didik dalam memecahkan suatu masalahnya. Di samping itu, seorang tenaga pendidik dituntut untuk dapat berperan sebagai teman sejawat dalam berdialog dengan peserta didik dalam mengembangkan penguasaan pengetahuan maupun ilmu tertentu.

Learning to do, akan bisa berjalan jika lembaga pendidikan memfasilitasi para peserta didik untuk mengaktualisasikan keterampilan yang dimilikinya, serta bakat dan minatnya. Walaupun bakat dan minat anak banyak dipengaruhi unsur keturunan namun tumbuh berkembangnya bakat dan minat tergantung pada lingkungannya. Keterampilan dapat digunakan untuk menopang kehidupan seseorang bahkan keterampilan lebih dominan daripada penguasaan pengetahuan dalam mendukung keberhasilan kehidupan individu kedepannya.

Learning to be erat hubungannya dengan bakat dan minat, perkembangan fisik dan kejiwaan, tipologi pribadi anak serta kondisi lingkungannya. Bagi anak yang aktif, proses pengembangan diri akan berjalan bila diberi kesempatan cukup luas untuk berkreasi. Sebaliknya bagi anak yang pasif, peran tenaga pendidik sebagai pengarah sekaligus fasilitator sangat dibutuhkan untuk pengembangan diri peserta didik secara maksimal.

Learning to live together, peserta didik sudah harus dibiasakan untuk hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi dan menerima, perlu ditumbuhkembangkan. Kondisi seperti ini memungkinkan terjadinya proses belajar untuk menjalani kehidupan bersama.

Penerapan keempat pilar ini dirasakan sangat penting dalam menghadapi era globalisasi dan era industri 4.0. Perlu pemupukkan sikap saling pengertian antar ras, suku, dan agama agar tidak menimbulkan berbagai pertentangan yang bersumber pada hal-hal tersebut.

Pendidikan yang diterapkan juga harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau kebutuhan dari daerah tempat dilangsungkan pendidikan. Sehingga unsur muatan lokal yang dikembangkan harus sesuai dengan kebutuhan daerah setempat.

Menyikapi kecenderungan merosotnya pencapaian hasil pendidikan selama ini, langkah antisipatif yang perlu ditempuh ialah mengupayakan peningkatan partisipasi masyarakat terhadap dunia pendidikan, peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan, serta perbaikan manajemen di setiap jenjang, jalur, dan jenis pendidikan.

Dalam meningkatkan mutu pendidikan di setiap daerah, seyogyanya dikaji lebih dulu kondisi obyektif dari unsur-unsur yang terkait pada mutu pendidikan, pertama kondisi para tenaga pendidik. Kedua, mengenai kurikulum dan bahan belajar yang digunakan oleh pendidik dan peserta didik. Ketiga, memperhatikan rujukan sumber belajar. Keempat, kondisi sarana pendukung dan prasarana belajar yang ada. Terakhir, menganai kondisi iklim belajar yang ada di setiap daerah.

Mutu pendidikan dapat juga ditingkatkan dengan melakukan serangkaian pembenahan terhadap segala persoalan yang dihadapi. Pembenahan itu dapat berupa pembenahan terhadap kurikulum pendidikan, yang dapat memberikan kemampuan dan keterampilan dasar minimal, menerapkan konsep belajar tuntas dan membangkitkan sikap kreatif, demokratis, dan mandiri. Perlu diidentifikasi unsur-unsur yang ada di daerah yang dapat dimanfaatkan untuk memfasilitasi proses peningkatan mutu pendidikan, selain pemerintah daerah, misalnya kelompok pakar, paguyuban mahasiswa, LSM daerah, perguruan tinggi, dan sanggar belajar.

Dengan demikian, tuntutan pendidikan sekarang dan masa depan harus diarahkan pada peningkatan kualitas kemampuan intelektual dan profesionalitas serta sikap, kepribadian dan moral manusia Indonesia pada umumnya. Dengan kemampuan dan sikap manusia Indonesia yang demikian diharapkan dapat mendudukkan diri secara bermartabat di masyarakat dunia dan di era globalisasi ini yang hampir semua sektor tergantikan oleh teknologi mesin.

*Penulis  saat ini menjadi Mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi Universitas Tadulako, sekaligus sebagai mantan Wakil Ketua Umum Forum Anak Daerah Sulawesi Tengah periode 2016-2018. Prestasi Juara 3 Lomba Esai Simposium Gizi Nasional dan Juara 2 Lomba Penulisan Kebangsaan tingkat Nasional.

Sumber: https://radarjogja.jawapos.com/opini/2018/12/11/integrasi-empat-pilar-unesco-dalam-sistem-pendidikan-indonesia/

Romantisme Jean-Jacques Rousseau dalam Pendidikan Indonesia

 Penulis: Ika Desi Budiarti

Jean-Jacques Rousseau lahir di Jenewa 28 Juni 1712. Beliau adalah tokoh filosofi besar, penulis dan komposer pada abad pencerahan. Pemikirannya menjadi dasar teori pendidikan modern. Sebagai seorang filsuf dan pendidik Jean-Jacques Rousseau mengemukakan ide-ide yang berkaitan pendidikan yang dikenal dengan paham romantis. Ide-ide tersebut di antaranya menyatakan bahwa tujuan dari pendidikan adalah untuk meningkatkan kemampuan siswa; pendidikan harus berlangsung dalam dunia nyata; dan kelulusan, persaingan, serta penilaian menghambat perkembangan pribadi siswa.

Paham romantis mengungkapkan bahwa pada hakekatnya manusia terlahir sebagai individu yang baik, jujur, dan penuh kasih. Jika ternyata mereka jahat, tidak jujur, dan penuh kebencian, itu karena pendidikan dan lingkungan masyarakat telah menyesatkan mereka. Tujuan utama pendidikan adalah untuk membantu siswa tumbuh secara alami di bawah bimbingan yang baik. Pendidikan bukannya mempersiapkan siswa dalam bidang perekonomian, politik, ataupun sosial, akan tetapi lebih menekankan pada pertumbuhan pribadi siswa lengkap dengan kebahagian dan kebebasan individualnya. Pendidikan mengembangkan potensi yang dimiliki siswa. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapakan Rousseau, yaitu bahwa “pendidikan lebih mengembangkan kemampuan yang ada diri pada individu itu sendiri tidak terhadap apa yang tidak ada bagian dari dirinya”. Lebih lanjut diungkapkan pula bahwa “pendidikan bukanlah untuk bisnis, atau mengajarkan berbagai ilmu-ilmu, tetapi untuk memberi rasa bagi siswa, melalui metode pembelajaran yang membuatnya merasa lebih dewasa”.

Pelaksanaan pembelajaran menurut Rousseau akan bermakna jika merupakan hasil dari pengalaman atau refleksi pengalaman pribadi secara langsung. Siswa secara alami memiliki rasa ingin tahu dan akan berusaha untuk mencari tahu jawabannya melalui bantuan campur tangan orang dewasa. Seorang guru harus mendorong mereka untuk bertanya dan memecahkan masalah yang mereka hadapi. Lingkungan pendidikan tempat proses pembelajaran berlangsung adalah mencakup siswa, masyarakat, dan lingkungan sekitarnya. Lingkungan geografis akan mengarahkan siswa dalam perkembangan moral dan intelektual. Perkembangan tersebut akan dimulai dari lokal tempat tinggal untuk mengetahui seperti apa hidup ini. Contohnya seorang siswa harus berada diantara orang miskin sehingga penderitaan dan keluhan akan membuatnya merasakan menderita dan ia akan belajar dari pengalaman tersebut.

Berbicara mengenai kelulusan, persaingan, dan penilaian, menurut Rousseau ini akan menghambat perkembangan pribadi individu. Tingkat kelulusan siswa yang diukur berdasarkan standar-standar eksternal tidak menhormati individualitas yang dikemukakan paham romatis. Penilaian yang diberikan guru kepada siswa menunjukan seberapa banyak pengetahuan yang mereka miliki. Hal ini mendorong siswa untuk mengukur diri dan membandingkan dengan siswa lain daripada mengikuti keinginan sendiri. Penilaian hanya menunjukan bahwa seseorang memuaskan dan memenuhi standar dibandingkan dengan yang lain, mereka tidak mempelajari apa yang seharusnya dipelajari untuk mereka sendiri.

Sepintas paham romatis sama dengan paham konstruktivis. Akan tetapi  jika konstruktivisme menekankan pada proses pembentukan pengetahuan secara individual  yang tidak bisa diganggu gugat oleh pihak luar, maka romatisme menekankan pada  esensi pendidikan sebagai sarana pertumbuhan siswa yang bahagia dan memiliki kebebasan individual dalam memilih apapun. Teori yang dikemukakan oleh paham romantis memberikan gambaran bagaimana seharusnya seorang guru membimbing siswa yang pada dasarnya terlahir baik, dalam hal ini pendidikan diharapkan mampu memberikan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan siswa melalui cara yang lebih leluasa tidak terikat oleh adanya aturan dan tentu saja dengan penuh cinta sehingga siswa dapat tumbuh secara alami dengan bahagia. Romantisme merupakan bentuk pendidikan yang sangat menghargai perbedaan individu. Pendidikan berlangsung secara alami dari potensi yang dimiliki oleh siswa. Paham romantis memberikan wawasan yang lebih luas bagi para guru sehingga dalam proses pembelajaran guru dapat mengeksplorasi kemampuan siswa sesuai dengan kebutuhan siswa. Siswa harus tumbuh bebas dan bahagia tanpa harus menjalani penyangkalan dari siapapun.

Dilihat dari sudut pandang makro pandangan Rousseau memberikan kontribusi bagi pendidikan Indonesia dalam hal kebebasan siswa untuk memepelajari apa yang ingin dipelajarinya. Salah satu langkah nyata yang diambil pemerintah yaitu dengan mendirikan berbagai sekolah menengah kejuruan. Jadi siswa dapat memepelajari apa yang ingin dia pelajari walaupun masih harus dibatasi aturan-aturan tertentu. Sedangkan jika dilihat dari sudut pandang mikro pandangan Rousseau bahwa pendidikan harus berlangsung dalam dunia nyata sejalan dengan paham konstruktivisme, bahawa pembelajaran akan bermakna jika siswa mengalaminya sendiri. Konsep ini sudah banyak dikembangakan oleh tenaga pendidik Indonesia. Guru kita sudah banya yang beralih dari pembalajaran metode lama (ceramah) ke pembalajaran yang melibatkan siswa secara langsung dalam prosesnya.

Dari ulasan diatas pandangan Rousseau tidak dapat seluruhnya dikembangkan di Indonesia. Contohnya saja pendapatnya tentang kelulusan dan penilaian. Sampai saat ini kita masih menganut sistem penilaian yang terpusat (UN), walaupun dalam proses pendidikan sudah diberikan otonomi kepada organisasi pendidikan terkecil untuk mengaturnya (KTSP).  Jika ditilik dan dipahami lebih dalam pandangan Rousseau benar-benar relevan bagi pola pikir modern yang lebih mementingkan kebebasan individual, sehingga tepat berkembang di dunia barat yang tingkat individualitasnya sangat tinggi. Akan tetapi bagi kita yang hidup di dunia timur, dengan tingkat toleransi dan hubungan kemasyarakatan yang kental membuat pandangan ini tidak dapat berkembang secara optimal, dan membutuhkan adaptasi di banyak hal. Adanya perbedaan adat istiadat, kebudayaan, dan kebiasaan juga membuat pandangan Rousseau tidak dapat diadopsi secara utuh. Untuk dapat mengadopsi paham romantis tentu saja kita mesti merubah secara keseluruhan baik itu sistem pendidikan, yang mana untuk melakukan hal itu tentu butuh waktu yang panjang dan tidak semua pihak dapat menerima begitu saja terhadap adanya perubahan.