By. Tabrani. ZA
Pendidikan
dan pembelajaran di sekolah selama ini dinilai kurang demokratis.
Kurangnya ruang bagi peserta didik untuk berimajinasi dan berkreasi
menunjukkan eksistensinya dengan perspektif mereka sendiri menunjukkan
hal itu. Padahal, kreativitas dan kemampuan berpikir kritis merupakan
kecakapan yang menjadi modal anak agar mampu menghadapi tantangan dan
lebih kompetitif .
Pengemasan pendidikan, pembelajaran, dan
pengajaran sekarang ini belum optimal seperti yang diharapkan. Hal ini
terlihat dengan kekacauan-kekacauan yang muncul di masyarakat bangsa
ini, diduga bermula dari apa yang dihasilkan oleh dunia pendidikan.
Pendidikan yang sesungguhnya paling besar memberikan kontribusi terhadap
kekacauan ini. Tantangan dunia pendidikan ke depan adalah mewujudkan
proses demokratisasi belajar atau humanism pendidikan. Pembelajaran yang
mengakui hak anak untuk melakukan tindakan belajar sesuai
karakteristiknya. Hal penting yang perlu ada dalam lingkungan belajar
yang dibutuhkan anak didik adalah kenyataan. Sadar bahwa anak memiliki
kekuatan disamping kelemahan, memiliki keberanian di samping rasa takut
dan kecemasan, bisa marah di samping juga bisa gembira. Education as
sosial funcional menekankan bahwa pendidikan sebagai alat untuk
memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa.
Pendidikan mempunyai peran strategis sebagai sarana human resources dan
human investment. Artinya, pendidikan selain bertujuan
menumbuhkembangkan kehidupan yang lebih baik, juga telah ikut mewarnai
dan menjadi landasan moral dan etik dalam proses pemberdayaan jati diri
bangsa. Berangkat dari arti penting pendidikan ini, maka wajar jika
hakekat pendidikan merupakan proses humanisasi.
Humanisasi bagi
Malik Fadjar berimplikasi pada proses kependidikan dengan orientasi
pengembangan aspek-aspek kemanusiaan manusia, yakni aspek fisik-biologis
dan ruhaniah-psikologis. Aspek rohaniah-psikologis inilah yang dicoba
didewasakan dan di-insan kamil-kan melalui pendidikan sebagai elemen
yang berpretensi positif dalam pembangunan kehidupan yang berkeadaban.
Dari pemikiran ini, maka pendidikan merupakan tindakan sadar dengan
tujuan memelihara dan mngembangkan fitrah serta potensi (sumber daya)
insani menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil).
Secara
normatif, Islam telah memberikan landasan kuat bagi pelaksanaan
pendidikan. Pertama,Islam menekankan bahwa pendidikan merupakan
kewajiban agama dimana proses pembelajaran dan transmisi Ilmu sangat
bermakna bagi kehidupan manusia. Inilah latar belakang turun wahyu
pertama dengan perintah membaca, menulis, dan mengajar.(QS. Al-‘Alaq,96:
1-5). Kedua, seluruh rangkaian pelaksanaan pendidikan adalah ibadah
kepada Allah SWT (QS. Al-Hajj,22: 54). Sebagai sebuah ibadah, maka
pendidikan merupakan kewajiban individual sekaligus kolektif , Ketiga,
Islam memberikan derajat tinggi bagi kaum terdidik, sarjana maupun
ilmuwan (QS. Al-Mujadalah,58: 11, al Nahl,16: 43). Keempat, Islam
memberikan landasan bahwa pendidikan merupakan aktivitas sepanjang
hayat. (long life education). Sebagaimana Hadist Nabi tentang menuntut
ilmu dari sejak buaian ibu sampai liang kubur). Kelima, kontruksi
pendidikan menurut Islam bersifat dialogis, inovatif dan terbuka dalam
menerima ilmu pengetahuan baik dari Timur maupun Barat. Itulah sebabnya
Nabi Muhammad SAW tidak alergi untuk memerintahkan umatnya menuntut ilmu
walau ke negeri Cina.
Kesadaran akan pentingnya pendidikan dengan
landasan konseptual-normatif inilah yang menyebabkan warisan khazanah
intelektual Islam sejak zaman Nabi hingga abad pertengahan mencapai
kejayaan global. Fajrul Islam, meminjam istilah yang dipakai Abdurrahman
Mas’ud untuk menggambarkan kondisi kejayaan Islam yang disinyalir
terjadi antara abad 7-11 M dengan figur Muhammad SAW sebagai modelling
mampu merubah karakteristik ‘jahiliyyah’ Arab menuju masyarakat yang
berbudaya. Menurut Fazlurrahman, prestasi besar peradaban Islam saat itu
merupakan keberhasilan yang ditopang pengembangkan penalaran yang luar
biasa.
Dalam Fase ini, orisinilitas ajaran Islam benar-benar telah menjadi
ilham bagi transmisi keilmuan di kalangan umat Islam dalam bentuk
kerja-kerja empiris bagi perkembangan peradaban Islam, sehingga Islam
secara normatif benar-benar menjadi teologi pembebasan (liberating) dan
pencerdasan umat (civilizing).
Munculnya berbagai lembaga
pendidikan berkaliber internasional dan banyaknya ilmuwan yang tidak
hanya mahir dibidang teologi tetapi juga tangguh dalam sains dan
teknologi merupakan bukti kehebatan yang ditoreh umat Islam pada era
ini. Prestasi besar Islam era inilah yang membuat orang seperti Mehdi
Nakosteen, dalam ‘History of Islamic Origin of Western Education, Philip
K. Hitti dalam The Arab: A. Short History dan Montgory Watt dalam The
Influence of The Islam dan Islamic Spain mengaku bahwa di abad
pertengahan, peradaban Islam telah memberikan kontribusi yang cukup
signifikan dalam bidang pendidikan kepada dunia barat.
Namun Kontruksi spektakuler Islam masa lalu tersebut dalam perkembangan
selanjutnya tidak mampu dipertahankan umat Islam. Fase ini semakin
nampak ketika tahun 1258 M, Hulago Khan dari Mongolia menghancurkan
Baghdad dan Granada sebagai Pusat Peradaban dan Kebudayaan Islam yang
berlanjut pada imperialisme Barat atas negara-negara Islam.
Pergulatannya dengan dunia barat bukanlah satu-satunya faktor penyebab
kemunduran yang menjadikan umat gagap dalam menghadapi perkembangan ilmu
pengatahuan dan teknologi yang telah beralih ke barat, tetapi ada
faktor yang lebih serius dari internal umat Islam, seperti degradasi
moral, pragmatis, hedonis, dan sekuler.
Semangat penalaran dalam
intelektualisme Islam masa lalu kini telah digantikan dengan tradisi
mengekor(taqlid,). Demikian ungkap Ziaudin Sardar. Bukti dari fenomena
ini adalah jarangnya penemuan-penemuan baru selama kurun ini dari lintas
disiplin keilmuan, meski banyak pemikir-pemikir yang lahir, paling
banter karya yang muncul adalah karya lanjutan tokoh-tokoh terdahulu,
tidak ada yang benar-benar baru. Hal ini diperparah dengan peta politik
dunia yang dimotori Barat yang berideologi sekuler melalui
institusi-institusi modern yang masuk ke dunia Islam. Sebab internal
inilah yang membuat Abdul Hamid Abu Sulaiman dalam Jurnal ‘Islamization
of Knowledge with special Reference of Political Science’ (1985),
berkomentar bahwa krisis multidimensi yang dialami umat Islam karena
disebabkan beberapa hal antara lain; kemunduran umat (the backwardness
of the ummah), kelemahan umat (the weakness of the ummah), stagnasi
pemikiran umat (the intelectual stagnation of the ummah), absennya
ijtihad umat (the absence of ijtihad in the ummah),absennya kemajuan
kultural ummat (the absence of cultural progress in the ummah),
tercerabutnya umat dari norma-norma dasar peradaban Islam (the ummah
losing touch with the basic norm of islamic civilization).
Menurut Ali Ashraf, model pendidikan dengan tekanan pada transfer ilmu
dan keahlian daripada pembangunan moralitas akan memunculkan sikap
individualistis, skeptis, enggan menerima hal-hal non-observasional dan
sikap menjauhi nilai-nilai Ilahiyah yang bernuansa kemanusiaan.
Akibat
lebih jauh, model pendidikan ini akan menghasilkan manusia mekanistik
yang mengabaikan penghargaan kemanusiaan yang jauh dari nilai
imajinatif, kreatif dan kultural. Kenyataan inilah yang menyebabkan
kearifan, kecerdasan spiritual, kesadaran manusia terhadap makna hidup,
lingkungan sosial dan alamnya menjadi gagal tumbuh dan akhirnya akan
mati dan menciptakan ketegangan kemanusian seperti demen konflik dan
perang, krisis nilai etis, dislokasi, alienasi, kekosongan nilai
rohaniah dan sebagainya.
Untuk itu, pendidikan Islam harus mampu
mengantarkan manusia menuju kesempurnaan dan kelengkapan nilai
kemanusiaan dalam arti yang sesungguhnya sebagai suatu sistem
pemanusiawian manusia yang unik, mandiri dan kreatif sebagaimana fungsi
diturunkannya al Qurán sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelas bagi
petunjuk itu serta pembeda antara yang benar dan yang salah (Q.S.
al-Baqarah/2 : 185). Al Hasil, Al-Qur'an berperan dalam meluruskan
kegagalan sistem pendidikan yang terjebak pada proses dehumanisasi.
Tujuan akhir pendidikan dalam Islam adalah proses pembentukan diri
peserta didik (manusia) agar sesuai dengan fitrah keberadaannya. Hal ini
meniscayakan adanya kebebasan gerak bagi setiap elemen dalam dunia
pendidikan -terutama peserta didik- untuk mengembangkan diri dan potensi
yang dimilikinya secara maksimal. Pada masa kejayaan Islam, pendidikan
telah mampu menjalankan perannya sebagai wadah pemberdayaan peserta
didik, namun seiring dengan kemunduran dunia Islam, dunia pendidikan
Islam pun turut mengalami kemunduran. Bahkan dalam paradigma pun terjadi
pergeseran dari paradigma aktif-progresifmenjadi pasif-defensif.
Akibatnya, pendidikan Islam mengalami proses “isolasi diri” dan
termarginalkan dari lingkungan di mana ia berada.
Dari gambaran
masa kejayaan dunia pendidikan Islam di atas, terdapat beberapa hal yang
dapat digunakan sebagai upaya untuk kembali membangkitkan dan
menempatkan dunia pendidikan Islam pada peran yang semestinya yakni
memanusiakan manusia atau humanisasi sekaligus menata ulang paradigma
pendidikan Islam sehingga kembali bersifat aktif-progresif, yakni:
Pertama, menempatkan
kembali seluruh aktivitas pendidikan (talab al-ilm) di bawah frame work
agama. Artinya, seluruh aktivitas intelektual senantiasa dilandasi oleh
nilai-nilai agama Islam, di mana tujuan akhir dari seluruh aktivitas
tersebut adalah upaya menegakkan agama dan mencari ridla
Allah,sebagaimana firman Allah SWT; Dan agar orang-orang yang telah
diberi ilmu, meyakini bahwasanya al-Qur`an itulah yang hak dari Tuhanmu
lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan sesungguhnya
Allah adalah Pemberi Petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan
yang lurus. (QS. Al-Hajj, 22: 54).
Kedua, adanya
perimbangan (balancing) antara disiplin ilmu agama dan pengembangan
intelektualitas dalam kurikulum pendidikan. Salah satu faktor utama dari
marginalisasi dalam dunia pendidikan Islam adalah kecenderungan untuk
lebih menitik beratkan pada kajian agama dan tidak memberikan porsi yang
berimbang pada pengembangan ilmu non-agama, bahkan menolak
kajian-kajian non-agama. Oleh karena itu, penyeimbangan antara materi
agama dan non-agama dalam dunia pendidikan Islam adalah sebuah
keniscayaan jika ingin dunia pendidikan Islam kembali survive di tengah
masyarakat. Al-Qur`an banyak menjelaskan di dalam ayat-ayat kauniahnya
agar manusia memikirkan dan mengkaji alam semesta ini, bagaimana langit
ditinggikan, bumi dihamparkan, gunung-gunung ditegakkan, manusia
diciptakan dan lain sebagainya. Hal ini mengindikasikan agar umat Islam
mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, tidak dibatasi hanya mempelajari
ilmu-ilmu agama. Dan Nabi Muhammad pun memerintahkan para sahabat untuk
menuntut ilmu ke negeri China. Hal ini sebagai dasar perintah dari Nabi
agar umat Islam mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan umum, karena China
dikenal pada saat itu sebagai negeri yang memiliki para ahli pengobatan
atau tabib.
Ketiga, perlu diberikan kebebasan kepada
civitas akademika untuk melakukan pengembangan keilmuan secara maksimal
karena selama masa kemunduran Islam, tercipta banyak sekat dan wilayah
terlarang bagi perdebatan dan perbedaan pendapat yang mengakibatkan
sempitnya wilayah pengembangan intelektual. Kalaulah tidak
menghilangkan, minimal membuka kembali, sekat dan wilayah-wilayah yang
selama ini terlarang bagi perdebatan, maka wilayah pengembangan
intelektual akan semakin luas yang tentunya akan membuka peluang lebih
lebar bagi pengembangan keilmuan di dunia pendidikan Islam pada
khususnya dan dunia Islam pada umumnya.
Keempat, mulai
mencoba melaksanakan strategi pendidikan yang membumi. Artinya, strategi
yang dilaksanakan disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan di
mana proses pendidikan tersebut dilaksanakan. Selain itu, materi-materi
yang diberikan juga disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada,
setidaknya selalu ada materi yang applicable dan memiliki relasi dengan
kenyataan faktual yang ada. Dengan strategi ini diharapkan pendidikan
Islam akan mampu menghasilkan sumber daya yang benar-benar mampu
menghadapi tantangan zaman dan peka terhadap lingkungan.
Kemudian, satu faktor lain yang akan sangat membantu adalah adanya
perhatian dan dukungan para pemimpin (pemerintah) atas proses penggalian
dan pembangkitan dunia pendidikan Islam ini. Adanya perhatian dan
dukungan pemerintah akan mampu mempercepat penemuan kembali paradigma
pendidikan Islam yang aktif-progresif, yang dengannya diharapkan dunia
pendidikan Islam dapat kembali mampu menjalankan fungsinya sebagai
sarana pemberdayaan dan humanisasi.
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa al-Qur`an sangat memperhatikan tentang humanisme atau
memanusiakan manusia, hal ini terbukti dengan banyaknya ayat-ayat
al-Qur`an yang menjelaskan tentang manusia dari mulai penciptaan,
potensi yang dimilikinya, perannya di muka bumi ini dan ditinggikannya
derajat manusia dibandingkan dengan makhluk-makhluk Allah yang lainnya,
tetapi humanisasi yang diterapkan dalam al-Qur`an tidak meninggalkan
peran manusia di bumi ini sebagai hamba yang diwajibkan untuk mengabdi
kepada khaliknya.
Adapun paradigma pendidikan Islam humanis yang terdapat di dalam
al-Qur`an adalah; pertama, pendidikan merupakan salah satu aktivitas
yang bertujuan mencari ridha Allah, kedua, adanya perbandingan antara
pengetahuan agama dan pengetahuan umum, ketiga, kebebasan dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan, dan keempat, mengkaji ilmu pengetahuan
yang membumi sehingga dapat diimplementasikan dalam kehidupan
sehari-hari.{Ђ}
SEMOGA BERMANFAAT