By. Tabrani. ZA
Pendidikan
dan pembelajaran di sekolah selama ini dinilai kurang demokratis.
Kurangnya ruang bagi peserta didik untuk berimajinasi dan berkreasi
menunjukkan eksistensinya dengan perspektif mereka sendiri menunjukkan
hal itu. Padahal, kreativitas dan kemampuan berpikir kritis merupakan
kecakapan yang menjadi modal anak agar mampu menghadapi tantangan dan
lebih kompetitif .
Pengemasan pendidikan, pembelajaran, dan pengajaran sekarang ini belum optimal seperti yang diharapkan. Hal ini terlihat dengan kekacauan-kekacauan yang muncul di masyarakat bangsa ini, diduga bermula dari apa yang dihasilkan oleh dunia pendidikan. Pendidikan yang sesungguhnya paling besar memberikan kontribusi terhadap kekacauan ini. Tantangan dunia pendidikan ke depan adalah mewujudkan proses demokratisasi belajar atau humanism pendidikan. Pembelajaran yang mengakui hak anak untuk melakukan tindakan belajar sesuai karakteristiknya. Hal penting yang perlu ada dalam lingkungan belajar yang dibutuhkan anak didik adalah kenyataan. Sadar bahwa anak memiliki kekuatan disamping kelemahan, memiliki keberanian di samping rasa takut dan kecemasan, bisa marah di samping juga bisa gembira. Education as sosial funcional menekankan bahwa pendidikan sebagai alat untuk memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa. Pendidikan mempunyai peran strategis sebagai sarana human resources dan human investment. Artinya, pendidikan selain bertujuan menumbuhkembangkan kehidupan yang lebih baik, juga telah ikut mewarnai dan menjadi landasan moral dan etik dalam proses pemberdayaan jati diri bangsa. Berangkat dari arti penting pendidikan ini, maka wajar jika hakekat pendidikan merupakan proses humanisasi.
Humanisasi bagi Malik Fadjar berimplikasi pada proses kependidikan dengan orientasi pengembangan aspek-aspek kemanusiaan manusia, yakni aspek fisik-biologis dan ruhaniah-psikologis. Aspek rohaniah-psikologis inilah yang dicoba didewasakan dan di-insan kamil-kan melalui pendidikan sebagai elemen yang berpretensi positif dalam pembangunan kehidupan yang berkeadaban. Dari pemikiran ini, maka pendidikan merupakan tindakan sadar dengan tujuan memelihara dan mngembangkan fitrah serta potensi (sumber daya) insani menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil).
Secara normatif, Islam telah memberikan landasan kuat bagi pelaksanaan pendidikan. Pertama,Islam menekankan bahwa pendidikan merupakan kewajiban agama dimana proses pembelajaran dan transmisi Ilmu sangat bermakna bagi kehidupan manusia. Inilah latar belakang turun wahyu pertama dengan perintah membaca, menulis, dan mengajar.(QS. Al-‘Alaq,96: 1-5). Kedua, seluruh rangkaian pelaksanaan pendidikan adalah ibadah kepada Allah SWT (QS. Al-Hajj,22: 54). Sebagai sebuah ibadah, maka pendidikan merupakan kewajiban individual sekaligus kolektif , Ketiga, Islam memberikan derajat tinggi bagi kaum terdidik, sarjana maupun ilmuwan (QS. Al-Mujadalah,58: 11, al Nahl,16: 43). Keempat, Islam memberikan landasan bahwa pendidikan merupakan aktivitas sepanjang hayat. (long life education). Sebagaimana Hadist Nabi tentang menuntut ilmu dari sejak buaian ibu sampai liang kubur). Kelima, kontruksi pendidikan menurut Islam bersifat dialogis, inovatif dan terbuka dalam menerima ilmu pengetahuan baik dari Timur maupun Barat. Itulah sebabnya Nabi Muhammad SAW tidak alergi untuk memerintahkan umatnya menuntut ilmu walau ke negeri Cina.
Kesadaran akan pentingnya pendidikan dengan landasan konseptual-normatif inilah yang menyebabkan warisan khazanah intelektual Islam sejak zaman Nabi hingga abad pertengahan mencapai kejayaan global. Fajrul Islam, meminjam istilah yang dipakai Abdurrahman Mas’ud untuk menggambarkan kondisi kejayaan Islam yang disinyalir terjadi antara abad 7-11 M dengan figur Muhammad SAW sebagai modelling mampu merubah karakteristik ‘jahiliyyah’ Arab menuju masyarakat yang berbudaya. Menurut Fazlurrahman, prestasi besar peradaban Islam saat itu merupakan keberhasilan yang ditopang pengembangkan penalaran yang luar biasa. Dalam Fase ini, orisinilitas ajaran Islam benar-benar telah menjadi ilham bagi transmisi keilmuan di kalangan umat Islam dalam bentuk kerja-kerja empiris bagi perkembangan peradaban Islam, sehingga Islam secara normatif benar-benar menjadi teologi pembebasan (liberating) dan pencerdasan umat (civilizing).
Munculnya berbagai lembaga pendidikan berkaliber internasional dan banyaknya ilmuwan yang tidak hanya mahir dibidang teologi tetapi juga tangguh dalam sains dan teknologi merupakan bukti kehebatan yang ditoreh umat Islam pada era ini. Prestasi besar Islam era inilah yang membuat orang seperti Mehdi Nakosteen, dalam ‘History of Islamic Origin of Western Education, Philip K. Hitti dalam The Arab: A. Short History dan Montgory Watt dalam The Influence of The Islam dan Islamic Spain mengaku bahwa di abad pertengahan, peradaban Islam telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam bidang pendidikan kepada dunia barat. Namun Kontruksi spektakuler Islam masa lalu tersebut dalam perkembangan selanjutnya tidak mampu dipertahankan umat Islam. Fase ini semakin nampak ketika tahun 1258 M, Hulago Khan dari Mongolia menghancurkan Baghdad dan Granada sebagai Pusat Peradaban dan Kebudayaan Islam yang berlanjut pada imperialisme Barat atas negara-negara Islam. Pergulatannya dengan dunia barat bukanlah satu-satunya faktor penyebab kemunduran yang menjadikan umat gagap dalam menghadapi perkembangan ilmu pengatahuan dan teknologi yang telah beralih ke barat, tetapi ada faktor yang lebih serius dari internal umat Islam, seperti degradasi moral, pragmatis, hedonis, dan sekuler.
Semangat penalaran dalam intelektualisme Islam masa lalu kini telah digantikan dengan tradisi mengekor(taqlid,). Demikian ungkap Ziaudin Sardar. Bukti dari fenomena ini adalah jarangnya penemuan-penemuan baru selama kurun ini dari lintas disiplin keilmuan, meski banyak pemikir-pemikir yang lahir, paling banter karya yang muncul adalah karya lanjutan tokoh-tokoh terdahulu, tidak ada yang benar-benar baru. Hal ini diperparah dengan peta politik dunia yang dimotori Barat yang berideologi sekuler melalui institusi-institusi modern yang masuk ke dunia Islam. Sebab internal inilah yang membuat Abdul Hamid Abu Sulaiman dalam Jurnal ‘Islamization of Knowledge with special Reference of Political Science’ (1985), berkomentar bahwa krisis multidimensi yang dialami umat Islam karena disebabkan beberapa hal antara lain; kemunduran umat (the backwardness of the ummah), kelemahan umat (the weakness of the ummah), stagnasi pemikiran umat (the intelectual stagnation of the ummah), absennya ijtihad umat (the absence of ijtihad in the ummah),absennya kemajuan kultural ummat (the absence of cultural progress in the ummah), tercerabutnya umat dari norma-norma dasar peradaban Islam (the ummah losing touch with the basic norm of islamic civilization). Menurut Ali Ashraf, model pendidikan dengan tekanan pada transfer ilmu dan keahlian daripada pembangunan moralitas akan memunculkan sikap individualistis, skeptis, enggan menerima hal-hal non-observasional dan sikap menjauhi nilai-nilai Ilahiyah yang bernuansa kemanusiaan.
Akibat lebih jauh, model pendidikan ini akan menghasilkan manusia mekanistik yang mengabaikan penghargaan kemanusiaan yang jauh dari nilai imajinatif, kreatif dan kultural. Kenyataan inilah yang menyebabkan kearifan, kecerdasan spiritual, kesadaran manusia terhadap makna hidup, lingkungan sosial dan alamnya menjadi gagal tumbuh dan akhirnya akan mati dan menciptakan ketegangan kemanusian seperti demen konflik dan perang, krisis nilai etis, dislokasi, alienasi, kekosongan nilai rohaniah dan sebagainya.
Untuk itu, pendidikan Islam harus mampu mengantarkan manusia menuju kesempurnaan dan kelengkapan nilai kemanusiaan dalam arti yang sesungguhnya sebagai suatu sistem pemanusiawian manusia yang unik, mandiri dan kreatif sebagaimana fungsi diturunkannya al Qurán sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelas bagi petunjuk itu serta pembeda antara yang benar dan yang salah (Q.S. al-Baqarah/2 : 185). Al Hasil, Al-Qur'an berperan dalam meluruskan kegagalan sistem pendidikan yang terjebak pada proses dehumanisasi. Tujuan akhir pendidikan dalam Islam adalah proses pembentukan diri peserta didik (manusia) agar sesuai dengan fitrah keberadaannya. Hal ini meniscayakan adanya kebebasan gerak bagi setiap elemen dalam dunia pendidikan -terutama peserta didik- untuk mengembangkan diri dan potensi yang dimilikinya secara maksimal. Pada masa kejayaan Islam, pendidikan telah mampu menjalankan perannya sebagai wadah pemberdayaan peserta didik, namun seiring dengan kemunduran dunia Islam, dunia pendidikan Islam pun turut mengalami kemunduran. Bahkan dalam paradigma pun terjadi pergeseran dari paradigma aktif-progresifmenjadi pasif-defensif. Akibatnya, pendidikan Islam mengalami proses “isolasi diri” dan termarginalkan dari lingkungan di mana ia berada.
Dari gambaran masa kejayaan dunia pendidikan Islam di atas, terdapat beberapa hal yang dapat digunakan sebagai upaya untuk kembali membangkitkan dan menempatkan dunia pendidikan Islam pada peran yang semestinya yakni memanusiakan manusia atau humanisasi sekaligus menata ulang paradigma pendidikan Islam sehingga kembali bersifat aktif-progresif, yakni:
Pertama, menempatkan kembali seluruh aktivitas pendidikan (talab al-ilm) di bawah frame work agama. Artinya, seluruh aktivitas intelektual senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai agama Islam, di mana tujuan akhir dari seluruh aktivitas tersebut adalah upaya menegakkan agama dan mencari ridla Allah,sebagaimana firman Allah SWT; Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya al-Qur`an itulah yang hak dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi Petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus. (QS. Al-Hajj, 22: 54).
Kedua, adanya perimbangan (balancing) antara disiplin ilmu agama dan pengembangan intelektualitas dalam kurikulum pendidikan. Salah satu faktor utama dari marginalisasi dalam dunia pendidikan Islam adalah kecenderungan untuk lebih menitik beratkan pada kajian agama dan tidak memberikan porsi yang berimbang pada pengembangan ilmu non-agama, bahkan menolak kajian-kajian non-agama. Oleh karena itu, penyeimbangan antara materi agama dan non-agama dalam dunia pendidikan Islam adalah sebuah keniscayaan jika ingin dunia pendidikan Islam kembali survive di tengah masyarakat. Al-Qur`an banyak menjelaskan di dalam ayat-ayat kauniahnya agar manusia memikirkan dan mengkaji alam semesta ini, bagaimana langit ditinggikan, bumi dihamparkan, gunung-gunung ditegakkan, manusia diciptakan dan lain sebagainya. Hal ini mengindikasikan agar umat Islam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, tidak dibatasi hanya mempelajari ilmu-ilmu agama. Dan Nabi Muhammad pun memerintahkan para sahabat untuk menuntut ilmu ke negeri China. Hal ini sebagai dasar perintah dari Nabi agar umat Islam mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan umum, karena China dikenal pada saat itu sebagai negeri yang memiliki para ahli pengobatan atau tabib.
Ketiga, perlu diberikan kebebasan kepada civitas akademika untuk melakukan pengembangan keilmuan secara maksimal karena selama masa kemunduran Islam, tercipta banyak sekat dan wilayah terlarang bagi perdebatan dan perbedaan pendapat yang mengakibatkan sempitnya wilayah pengembangan intelektual. Kalaulah tidak menghilangkan, minimal membuka kembali, sekat dan wilayah-wilayah yang selama ini terlarang bagi perdebatan, maka wilayah pengembangan intelektual akan semakin luas yang tentunya akan membuka peluang lebih lebar bagi pengembangan keilmuan di dunia pendidikan Islam pada khususnya dan dunia Islam pada umumnya.
Keempat, mulai mencoba melaksanakan strategi pendidikan yang membumi. Artinya, strategi yang dilaksanakan disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan di mana proses pendidikan tersebut dilaksanakan. Selain itu, materi-materi yang diberikan juga disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada, setidaknya selalu ada materi yang applicable dan memiliki relasi dengan kenyataan faktual yang ada. Dengan strategi ini diharapkan pendidikan Islam akan mampu menghasilkan sumber daya yang benar-benar mampu menghadapi tantangan zaman dan peka terhadap lingkungan. Kemudian, satu faktor lain yang akan sangat membantu adalah adanya perhatian dan dukungan para pemimpin (pemerintah) atas proses penggalian dan pembangkitan dunia pendidikan Islam ini. Adanya perhatian dan dukungan pemerintah akan mampu mempercepat penemuan kembali paradigma pendidikan Islam yang aktif-progresif, yang dengannya diharapkan dunia pendidikan Islam dapat kembali mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana pemberdayaan dan humanisasi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa al-Qur`an sangat memperhatikan tentang humanisme atau memanusiakan manusia, hal ini terbukti dengan banyaknya ayat-ayat al-Qur`an yang menjelaskan tentang manusia dari mulai penciptaan, potensi yang dimilikinya, perannya di muka bumi ini dan ditinggikannya derajat manusia dibandingkan dengan makhluk-makhluk Allah yang lainnya, tetapi humanisasi yang diterapkan dalam al-Qur`an tidak meninggalkan peran manusia di bumi ini sebagai hamba yang diwajibkan untuk mengabdi kepada khaliknya. Adapun paradigma pendidikan Islam humanis yang terdapat di dalam al-Qur`an adalah; pertama, pendidikan merupakan salah satu aktivitas yang bertujuan mencari ridha Allah, kedua, adanya perbandingan antara pengetahuan agama dan pengetahuan umum, ketiga, kebebasan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, dan keempat, mengkaji ilmu pengetahuan yang membumi sehingga dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.{Ђ}
Pengemasan pendidikan, pembelajaran, dan pengajaran sekarang ini belum optimal seperti yang diharapkan. Hal ini terlihat dengan kekacauan-kekacauan yang muncul di masyarakat bangsa ini, diduga bermula dari apa yang dihasilkan oleh dunia pendidikan. Pendidikan yang sesungguhnya paling besar memberikan kontribusi terhadap kekacauan ini. Tantangan dunia pendidikan ke depan adalah mewujudkan proses demokratisasi belajar atau humanism pendidikan. Pembelajaran yang mengakui hak anak untuk melakukan tindakan belajar sesuai karakteristiknya. Hal penting yang perlu ada dalam lingkungan belajar yang dibutuhkan anak didik adalah kenyataan. Sadar bahwa anak memiliki kekuatan disamping kelemahan, memiliki keberanian di samping rasa takut dan kecemasan, bisa marah di samping juga bisa gembira. Education as sosial funcional menekankan bahwa pendidikan sebagai alat untuk memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa. Pendidikan mempunyai peran strategis sebagai sarana human resources dan human investment. Artinya, pendidikan selain bertujuan menumbuhkembangkan kehidupan yang lebih baik, juga telah ikut mewarnai dan menjadi landasan moral dan etik dalam proses pemberdayaan jati diri bangsa. Berangkat dari arti penting pendidikan ini, maka wajar jika hakekat pendidikan merupakan proses humanisasi.
Humanisasi bagi Malik Fadjar berimplikasi pada proses kependidikan dengan orientasi pengembangan aspek-aspek kemanusiaan manusia, yakni aspek fisik-biologis dan ruhaniah-psikologis. Aspek rohaniah-psikologis inilah yang dicoba didewasakan dan di-insan kamil-kan melalui pendidikan sebagai elemen yang berpretensi positif dalam pembangunan kehidupan yang berkeadaban. Dari pemikiran ini, maka pendidikan merupakan tindakan sadar dengan tujuan memelihara dan mngembangkan fitrah serta potensi (sumber daya) insani menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil).
Secara normatif, Islam telah memberikan landasan kuat bagi pelaksanaan pendidikan. Pertama,Islam menekankan bahwa pendidikan merupakan kewajiban agama dimana proses pembelajaran dan transmisi Ilmu sangat bermakna bagi kehidupan manusia. Inilah latar belakang turun wahyu pertama dengan perintah membaca, menulis, dan mengajar.(QS. Al-‘Alaq,96: 1-5). Kedua, seluruh rangkaian pelaksanaan pendidikan adalah ibadah kepada Allah SWT (QS. Al-Hajj,22: 54). Sebagai sebuah ibadah, maka pendidikan merupakan kewajiban individual sekaligus kolektif , Ketiga, Islam memberikan derajat tinggi bagi kaum terdidik, sarjana maupun ilmuwan (QS. Al-Mujadalah,58: 11, al Nahl,16: 43). Keempat, Islam memberikan landasan bahwa pendidikan merupakan aktivitas sepanjang hayat. (long life education). Sebagaimana Hadist Nabi tentang menuntut ilmu dari sejak buaian ibu sampai liang kubur). Kelima, kontruksi pendidikan menurut Islam bersifat dialogis, inovatif dan terbuka dalam menerima ilmu pengetahuan baik dari Timur maupun Barat. Itulah sebabnya Nabi Muhammad SAW tidak alergi untuk memerintahkan umatnya menuntut ilmu walau ke negeri Cina.
Kesadaran akan pentingnya pendidikan dengan landasan konseptual-normatif inilah yang menyebabkan warisan khazanah intelektual Islam sejak zaman Nabi hingga abad pertengahan mencapai kejayaan global. Fajrul Islam, meminjam istilah yang dipakai Abdurrahman Mas’ud untuk menggambarkan kondisi kejayaan Islam yang disinyalir terjadi antara abad 7-11 M dengan figur Muhammad SAW sebagai modelling mampu merubah karakteristik ‘jahiliyyah’ Arab menuju masyarakat yang berbudaya. Menurut Fazlurrahman, prestasi besar peradaban Islam saat itu merupakan keberhasilan yang ditopang pengembangkan penalaran yang luar biasa. Dalam Fase ini, orisinilitas ajaran Islam benar-benar telah menjadi ilham bagi transmisi keilmuan di kalangan umat Islam dalam bentuk kerja-kerja empiris bagi perkembangan peradaban Islam, sehingga Islam secara normatif benar-benar menjadi teologi pembebasan (liberating) dan pencerdasan umat (civilizing).
Munculnya berbagai lembaga pendidikan berkaliber internasional dan banyaknya ilmuwan yang tidak hanya mahir dibidang teologi tetapi juga tangguh dalam sains dan teknologi merupakan bukti kehebatan yang ditoreh umat Islam pada era ini. Prestasi besar Islam era inilah yang membuat orang seperti Mehdi Nakosteen, dalam ‘History of Islamic Origin of Western Education, Philip K. Hitti dalam The Arab: A. Short History dan Montgory Watt dalam The Influence of The Islam dan Islamic Spain mengaku bahwa di abad pertengahan, peradaban Islam telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan dalam bidang pendidikan kepada dunia barat. Namun Kontruksi spektakuler Islam masa lalu tersebut dalam perkembangan selanjutnya tidak mampu dipertahankan umat Islam. Fase ini semakin nampak ketika tahun 1258 M, Hulago Khan dari Mongolia menghancurkan Baghdad dan Granada sebagai Pusat Peradaban dan Kebudayaan Islam yang berlanjut pada imperialisme Barat atas negara-negara Islam. Pergulatannya dengan dunia barat bukanlah satu-satunya faktor penyebab kemunduran yang menjadikan umat gagap dalam menghadapi perkembangan ilmu pengatahuan dan teknologi yang telah beralih ke barat, tetapi ada faktor yang lebih serius dari internal umat Islam, seperti degradasi moral, pragmatis, hedonis, dan sekuler.
Semangat penalaran dalam intelektualisme Islam masa lalu kini telah digantikan dengan tradisi mengekor(taqlid,). Demikian ungkap Ziaudin Sardar. Bukti dari fenomena ini adalah jarangnya penemuan-penemuan baru selama kurun ini dari lintas disiplin keilmuan, meski banyak pemikir-pemikir yang lahir, paling banter karya yang muncul adalah karya lanjutan tokoh-tokoh terdahulu, tidak ada yang benar-benar baru. Hal ini diperparah dengan peta politik dunia yang dimotori Barat yang berideologi sekuler melalui institusi-institusi modern yang masuk ke dunia Islam. Sebab internal inilah yang membuat Abdul Hamid Abu Sulaiman dalam Jurnal ‘Islamization of Knowledge with special Reference of Political Science’ (1985), berkomentar bahwa krisis multidimensi yang dialami umat Islam karena disebabkan beberapa hal antara lain; kemunduran umat (the backwardness of the ummah), kelemahan umat (the weakness of the ummah), stagnasi pemikiran umat (the intelectual stagnation of the ummah), absennya ijtihad umat (the absence of ijtihad in the ummah),absennya kemajuan kultural ummat (the absence of cultural progress in the ummah), tercerabutnya umat dari norma-norma dasar peradaban Islam (the ummah losing touch with the basic norm of islamic civilization). Menurut Ali Ashraf, model pendidikan dengan tekanan pada transfer ilmu dan keahlian daripada pembangunan moralitas akan memunculkan sikap individualistis, skeptis, enggan menerima hal-hal non-observasional dan sikap menjauhi nilai-nilai Ilahiyah yang bernuansa kemanusiaan.
Akibat lebih jauh, model pendidikan ini akan menghasilkan manusia mekanistik yang mengabaikan penghargaan kemanusiaan yang jauh dari nilai imajinatif, kreatif dan kultural. Kenyataan inilah yang menyebabkan kearifan, kecerdasan spiritual, kesadaran manusia terhadap makna hidup, lingkungan sosial dan alamnya menjadi gagal tumbuh dan akhirnya akan mati dan menciptakan ketegangan kemanusian seperti demen konflik dan perang, krisis nilai etis, dislokasi, alienasi, kekosongan nilai rohaniah dan sebagainya.
Untuk itu, pendidikan Islam harus mampu mengantarkan manusia menuju kesempurnaan dan kelengkapan nilai kemanusiaan dalam arti yang sesungguhnya sebagai suatu sistem pemanusiawian manusia yang unik, mandiri dan kreatif sebagaimana fungsi diturunkannya al Qurán sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelas bagi petunjuk itu serta pembeda antara yang benar dan yang salah (Q.S. al-Baqarah/2 : 185). Al Hasil, Al-Qur'an berperan dalam meluruskan kegagalan sistem pendidikan yang terjebak pada proses dehumanisasi. Tujuan akhir pendidikan dalam Islam adalah proses pembentukan diri peserta didik (manusia) agar sesuai dengan fitrah keberadaannya. Hal ini meniscayakan adanya kebebasan gerak bagi setiap elemen dalam dunia pendidikan -terutama peserta didik- untuk mengembangkan diri dan potensi yang dimilikinya secara maksimal. Pada masa kejayaan Islam, pendidikan telah mampu menjalankan perannya sebagai wadah pemberdayaan peserta didik, namun seiring dengan kemunduran dunia Islam, dunia pendidikan Islam pun turut mengalami kemunduran. Bahkan dalam paradigma pun terjadi pergeseran dari paradigma aktif-progresifmenjadi pasif-defensif. Akibatnya, pendidikan Islam mengalami proses “isolasi diri” dan termarginalkan dari lingkungan di mana ia berada.
Dari gambaran masa kejayaan dunia pendidikan Islam di atas, terdapat beberapa hal yang dapat digunakan sebagai upaya untuk kembali membangkitkan dan menempatkan dunia pendidikan Islam pada peran yang semestinya yakni memanusiakan manusia atau humanisasi sekaligus menata ulang paradigma pendidikan Islam sehingga kembali bersifat aktif-progresif, yakni:
Pertama, menempatkan kembali seluruh aktivitas pendidikan (talab al-ilm) di bawah frame work agama. Artinya, seluruh aktivitas intelektual senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai agama Islam, di mana tujuan akhir dari seluruh aktivitas tersebut adalah upaya menegakkan agama dan mencari ridla Allah,sebagaimana firman Allah SWT; Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya al-Qur`an itulah yang hak dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi Petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus. (QS. Al-Hajj, 22: 54).
Kedua, adanya perimbangan (balancing) antara disiplin ilmu agama dan pengembangan intelektualitas dalam kurikulum pendidikan. Salah satu faktor utama dari marginalisasi dalam dunia pendidikan Islam adalah kecenderungan untuk lebih menitik beratkan pada kajian agama dan tidak memberikan porsi yang berimbang pada pengembangan ilmu non-agama, bahkan menolak kajian-kajian non-agama. Oleh karena itu, penyeimbangan antara materi agama dan non-agama dalam dunia pendidikan Islam adalah sebuah keniscayaan jika ingin dunia pendidikan Islam kembali survive di tengah masyarakat. Al-Qur`an banyak menjelaskan di dalam ayat-ayat kauniahnya agar manusia memikirkan dan mengkaji alam semesta ini, bagaimana langit ditinggikan, bumi dihamparkan, gunung-gunung ditegakkan, manusia diciptakan dan lain sebagainya. Hal ini mengindikasikan agar umat Islam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, tidak dibatasi hanya mempelajari ilmu-ilmu agama. Dan Nabi Muhammad pun memerintahkan para sahabat untuk menuntut ilmu ke negeri China. Hal ini sebagai dasar perintah dari Nabi agar umat Islam mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan umum, karena China dikenal pada saat itu sebagai negeri yang memiliki para ahli pengobatan atau tabib.
Ketiga, perlu diberikan kebebasan kepada civitas akademika untuk melakukan pengembangan keilmuan secara maksimal karena selama masa kemunduran Islam, tercipta banyak sekat dan wilayah terlarang bagi perdebatan dan perbedaan pendapat yang mengakibatkan sempitnya wilayah pengembangan intelektual. Kalaulah tidak menghilangkan, minimal membuka kembali, sekat dan wilayah-wilayah yang selama ini terlarang bagi perdebatan, maka wilayah pengembangan intelektual akan semakin luas yang tentunya akan membuka peluang lebih lebar bagi pengembangan keilmuan di dunia pendidikan Islam pada khususnya dan dunia Islam pada umumnya.
Keempat, mulai mencoba melaksanakan strategi pendidikan yang membumi. Artinya, strategi yang dilaksanakan disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan di mana proses pendidikan tersebut dilaksanakan. Selain itu, materi-materi yang diberikan juga disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada, setidaknya selalu ada materi yang applicable dan memiliki relasi dengan kenyataan faktual yang ada. Dengan strategi ini diharapkan pendidikan Islam akan mampu menghasilkan sumber daya yang benar-benar mampu menghadapi tantangan zaman dan peka terhadap lingkungan. Kemudian, satu faktor lain yang akan sangat membantu adalah adanya perhatian dan dukungan para pemimpin (pemerintah) atas proses penggalian dan pembangkitan dunia pendidikan Islam ini. Adanya perhatian dan dukungan pemerintah akan mampu mempercepat penemuan kembali paradigma pendidikan Islam yang aktif-progresif, yang dengannya diharapkan dunia pendidikan Islam dapat kembali mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana pemberdayaan dan humanisasi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa al-Qur`an sangat memperhatikan tentang humanisme atau memanusiakan manusia, hal ini terbukti dengan banyaknya ayat-ayat al-Qur`an yang menjelaskan tentang manusia dari mulai penciptaan, potensi yang dimilikinya, perannya di muka bumi ini dan ditinggikannya derajat manusia dibandingkan dengan makhluk-makhluk Allah yang lainnya, tetapi humanisasi yang diterapkan dalam al-Qur`an tidak meninggalkan peran manusia di bumi ini sebagai hamba yang diwajibkan untuk mengabdi kepada khaliknya. Adapun paradigma pendidikan Islam humanis yang terdapat di dalam al-Qur`an adalah; pertama, pendidikan merupakan salah satu aktivitas yang bertujuan mencari ridha Allah, kedua, adanya perbandingan antara pengetahuan agama dan pengetahuan umum, ketiga, kebebasan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, dan keempat, mengkaji ilmu pengetahuan yang membumi sehingga dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.{Ђ}
SEMOGA BERMANFAAT