By. Tabrani. ZA
Memperbincangkan hubungan Islam
dengan demokrasi pada dasarnya sangat aksiomatis. Sebab, Islam merupakan
agama dan risalah yang mengandung asas-asas yang mengatur ibadah, akhlak dan
muamalat manusia. Sedangkan, demokrasi hanyalah sebuah sistem pemerintahan dan
mekanisme kerja antaranggota masyarakat serta simbol yang diyakini membawa
banyak nilai-nilai positif. Polemik hubungan demokrasi dengan Islam ini berakar
pada sebuah “ketegangan teologis” antara rasa keharusan memahami doktrin
yang telah mapan oleh sejarah-sejarah dinasti muslim dengan tuntutan untuk
memberikan pemahaman baru pada doktrin tersebut sebagai respons atas fenomena
sosial yang telah berubah.
Hubungan antara Islam dan demokrasi
merupakan hubungan yang kompleks. Sebab, dunia Islam tidak hidup dalam keseragaman
ideologis sehingga terdapat satu spektrum panjang terkait hubungan antara Islam
dan demokrasi ini. Khalid Abu al-Fadl (2004), mengatakan bahwa meskipun
Al-Qur`an tidak secara spesifik dan eksplisit menunjukkan preferensi terhadap
satu bentuk pemerintahan tertentu, tetapi dengan gamblang memaparkan
seperangkat nilai sosial dan politik penting dalam suatu pemerintahan untuk
Muslimin. Di antaranya adalah tiga nilai penting, yaitu keadilan melalui kerja
sama sosial dan prinsip saling membantu, membangun suatu sistem pemerintahan
konsultatif yang tidak otokratis, melembagakan kasih sayang dalam interaksi
sosial.
Masyhuri Abdillah (2005), juga
melihat bahwa di dalam Al-Qur`an tidak dapat ditemukan konsep negara, karena
konsep negara adalah buah pemikiran yang muncul belakangan. Bahkan kata Daulah
Islamiyah sendiri adalah kata baru yang muncul di abad ke-20. Istilah daulah
baru dipakai sejak masa Dinasti Mu`awiyah dan Abbasiyyah, yang dipakai dalam
arti dinasti. Meskipun demikian, ia juga melihat bahwa di dalam Al-Qur`an
terdapat prinsip-prinsip hidup berkemasyarakatan yang di antaranya kejujuran
dan tanggung jawab, keadilan, persaudaraan, pluralisme, persamaan, musyawarah,
mendahulukan perdamaian, dan kontrol. Secara prinsipiil hal ini sejalan dengan
doktrin politik dari konsep demokrasi.
John L. Esposito dan James P.
Piscatori (dalam Riza Sihbudi, 1993), mengatakan bahwa Islam pada kenyataannya
memberikan kemungkinan pada bermacam interpretasi, Islam bisa digunakan untuk
mendukung demokrasi maupun kediktatoran, republikanisme maupun monarki. Pernyataan
Esposito dan Piscatori ini dapat mengidentifikasikan tiga pemikiran mengenai
hubungan Islam dengan demokrasi. Pertama, Islam menjadi sifat dasar
demokrasi karena konsep syura`, ijtihad, dan ijma` merupakan
konsep yang sama dengan demokrasi. Kedua, menolak bahwa Islam berhubungan dengan
demokrasi. Dalam pandangan ini, kedaulatan rakyat tidak bisa berdiri di atas
kedaulatan Tuhan, juga tidak bisa disamakan antara Muslim dan non-Muslim serta
antara laki-laki dan perempuan. Hal ini bertentangan dengan prinsip equality
demokrasi. Ketiga, sebagaimana pandangan pertama bahwa Islam merupakan
dasar demokrasi, meskipun kedaulatan rakyat tidak bisa bertemu dengan
kedaulatan Tuhan, perlu di akui bahwa kedaulatan rakyat tersebut merupakan
subordinasi hukum Tuhan. Terma ini dikenal dengan theodemocracy yang
diperkenalkan oleh al-Maududi.
Selain itu, secara garis besar wacana Islam dan
demokrasi terdapat tiga kelompok pemikiran (Ubaidillah Abdul Razak, 2006); pertama,
pandangan yang menyatakan jika Islam dan demokrasi adalah dua sistem yang
berbeda. Kelompok ini memandang jika Islam sebagai sistem alternatif demokrasi
sehingga demokrasi sebagai konsep Barat tidak dapat dijadikan acuan dalam hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pendeknya, demokrasi menurut kelompok
ini merupakan sistem kafir karena telah meletakkan kedaulatan negara di tangan
rakyat bukan Tuhan, dan mereka memandang sebagian besar dari aktivitas
demokrasi tertolak secara syar`i dan memandang bahwa prinsip pemilu secara
jelas melanggar asas wakalah (perwakilan) yaitu materi yang diwakilkan
didasarkan atas asas demokrasi adalah batil; Kedua, Islam berbeda dengan
demokrasi. Kelompok ini menyetujui
adanya prinsip-prinsip demokrasi dalam Islam, tapi tetap mengakui adanya
perbedaan antar Islam dan demokrasi kalau demokrasi didefinisikan secara
prosedural seperti yang dipahami dan dipraktekkan oleh negara Barat. Akan
tetapi jika demokrasi dimaknai secara
substantif, yaitu kedaulatan di tangan rakyat, dan negara merupakan terjemahan
dari kedaulatan rakyat, maka Islam merupakan sistem politik yang demokratis; ketiga,
Islam adalah sistem nilai yang membenarkan serta mendukung demokrasi. kelompok
ini berpendapat bahwa Islam merupakan sistem nilai yang membenarkan demokrasi
dan substansi demokrasi sesungguhnya berasal dari ajaran Islam.
Tiga pandangan di atas merupakan akumulasi yang
berangkat dari kriteria umat Islam dan demokrasi sehingga ketiga pandangan tadi
tidak berjalan beriringan, tetapi berlawanan.
Secara umum demokrasi itu kompatibel dengan
nilai-nilai universal Islam. Seperti persamaan, kebebasan, permusyawaratan dan
keadilan. Akan tetapi dalam dataran implementatif hal ini tidak terlepas dari
problematika. Sebagai contoh adalah ketika nilai-nilai demokrasi berseberangan
dengan hasil ijtihad para ulama. Contoh kecil adalah kasus tentang orang yang
pindah agama dari Islam. Menurut pandangan Islam berdasarkan hadits: "Man
baddala dinahu faqtuluhu" mereka disuruh taubat dahulu, jika mereka
tidak mau maka dia boleh dibunuh atau diperangi. Dalam sistem demokrasi hal ini
tidak boleh terjadi, sebab membunuh berarti melanggar kebebasan mereka dan
melanggar hak asasi manusia (HAM). Kemudian dalam demokrasi ada prinsip
kesamaan antar warga Negara. Namun dalam Islam ada beberapa hal yang sangat
tegas disebut dalam Al-Qur`an bahwa ada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan, misalnya tentang poligami. (QS. An-nisa' 33) tentang hukum waris
(QS. An-nisa' 11) tentang kesaksian (QS. Al-Baqarah 282). Di samping itu,
demokrasi sangat menghargai toleransi dalam kehidupan sosial, termasuk dalam
maksiat sekalipun. Seperti pacaran dan perzinaan, kalau di antara laki-laki dan
perempuan (bukan suami istri) melakukan hubungan persetubuhan suka sama suka
itu tidak jadi masalah atau dengan kata lain dibolehkan. Sedangkan dalam Islam
hal ini jelas-jelas dilarang dalam Al-Qur'an. Demikian juga dalam Islam
dibedakan antara hak dan kewajiban kafir dzimmi dengan yang muslim. Hal
ini dalam demokrasi tidak boleh terjadi, sebab tidak lagi menjunjung nilai
persamaan. Melihat adanya problem di atas, berarti tidak semuanya demokrasi
kompatibel dengan ajaran Islam. Dalam dataran prinsip, ide-ide demokrasi ada
yang sesuai dan selaras dengan Islam, namun pada tingkat implementatif sering
kali nilai-nilai demokrasi berseberangan dengan ajaran Islam dalam Al-Qur`an,
As-sunnah dan ijtihad para ulama.
Dalam pada itu, menurut hemat penulis, umat
Islam saat ini tidak seharusnya berada dalam ruang pertentangan hubungan Islam
dengan demokrasi, akan tetapi, yang lebih penting (urgent) untuk
dilakukan umat Islam dalam pelaksanaan demokrasi dengan mengacu kepada ajaran
kemaslahatan, keadilan, ijtihad (kemerdekaan berpikir), toleransi, kebebasan,
persamaan, kejujuran serta tanggung jawab dan sebagainya.
Untuk melihat hubungan Islam dengan demokrasi,
setidaknya harus di lihat dari sisi sistem, dasar-dasar politik dan nilainya.
Akan tetapi, jika demokrasi didefinisikan secara prosedural seperti yang
dipahami dan dipraktekkan di negara-negara Barat, maka demokrasi akan
bertentangan (tidak sejalan) dengan ajaran Islam.
Penulis adalah Peneliti pada Study Center
for Acehnese Democracy of Independent (SCAD Independent),, Alumni Pascasarjana
Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dan Alumni Dayah
Darussalam Labuhan Haji Aceh.
Tulisan ini telah dipublikasikan oleh Magister Studi Islam
Universitas Islam Indonesia-Yogyakarta, pada tanggal 14 May 2013
http://master.islamic.uii.ac.id/antara-islam-dan-demokrasi/
Pages:
1
2
3