By: Tabrani. ZA
Kontrol Negara Terhadap Pendidikan
Sebagai suatu proses yang banyak menentukan corak
dan kualitas kehidupan individu dan masyarakat, tidak mengherankan apabila
semua pihak memandang pendidikan sebagai wilayah strategi bagi kehidupan manusia
sehingga program-program dan proses yang ada di dalamnya dapat dirancang,
diatur, dan diarahkan sedemikian rupa untuk mendapatkan output yang
didinginkan. Inilah salah satu alasan mengapa begitu banyak orang tua yang
sanggup mengorbankan harta mereka yang berharga untuk memberikan pendidikan
yang terbaik bagi anak-anak mereka. Ini pulalah salah satu alasan mengapa suatu
negara sangat peduli dan menyediakan anggaran dalam jumlah yang besar untuk
bidang pendidikan. Semua itu dilakukan dalam rangka membangun suatu
sistem pendidikan yang memiliki karakteristik, kualitas, arah, dan output yang
diinginkan. Untuk memastikan terwujudnya keinginan tersebut, banyak negara yang
menerapkan kontrol sangat ketat terhadap program-program pendidikan, baik yang diselenggarakan
sendiri oleh negara maupun yang diselenggarakan oleh masyarakat.
Salah satu fungsi sistem pendidikan di banyak
Negara adalah menghasilkan pengetahuan teknis/ administratif yang pada
akhirnya diakumulasi oleh kelompok-kelompok dominan dan digunakan dalam mengontrol
ekonomi, politik, dan budaya. Alih-alih menjadi pusat pencerahan dan
intelektualisasi sekolah-sekolah justru menjadikan pusat indoktrinasi.
Kandungan (content) dari kurikulum pembelajaran terus mengalami
perubahan, bukan karena merespons perkembangan dunia ilmu pengetahuan atau
tantangan baru, tetapi dalam rangka menjawab tuntutan-tuntutan tertentu dari
negara terhadap peran politik sekolah-sekolah.
Ketika doktrin-doktrin para penguasa negara berseberangan
dengan nilai-nilai yang hidup secara riil dalam masyarakat, maka
institusi-institusi sekolah menjadi sumber konflik, baik antar sesama perangkat
sekolah itu sendiri maupun antara perangkat sekolah dengan peserta didik.
Ketika para anggota perangkat sekolah dan peserta didik merambah ke luar lingkungan
sekolah, maka skala konflik meluas menjadi konflik sosial politik.
Persoalan ini memunculkan pertanyaan sebagai
berikut, Apakah masih mungkin mengembalikan fungsi sekolah sebagai wisdom of
education? Apakah kontrol Negara terhadap sekolah dapat dihilangkan? Apakah
suatu sistem pendidikan dapat berjalan tanpa ada mekanisme kontrol? Jawaban
terhadap pertanyaan-pertanyaan ini tergantung pada bagaimana konsep kita
tentang sekolah dan Negara. Apa pun jawabannya, inti persoalan adalah bagaimana
memformulasikan posisi dan peran Negara dalam pengembangan sistem pendidikan
tanpa harus “mengganggu” tujuan asasi pendidikan sebagai pusat pencerahan
masyarakat.
Prospek Kajian Politik Pendidikan
Sebagai suatu kajian yang relatif baru dan
merupakan pengembangan dari bidang kajian yang telah mapan (established),
yaitu kajian politik dan kajian pendidikan, kelayakan politik pendidikan
sebagai suatu bidang kajian banyak dipertanyakan, baik oleh para sarjana ilmu
politik maupun oleh para sarjana ilmu pendidikan. Namun, pengalaman panjang
bangsa Indonesia, mulai dari era kolonial hingga era reformasi, memperlihatkan
betapa pendidikan dan politik saling berkaitan. Keterkaitan tersebut dapat
dilihat dari karakteristik berbagai kebijakan pendidikan yang dibuat oleh rezim
yang berkuasa. Hal itulah yang memperlihatkan bahwa para ilmuwan pendidikan di
negeri ini membutuhkan wawasan politik yang memadai untuk dapat menjelaskan
berbagai persoalan kependidikan yang ada. Begitu juga sebaliknya, para ilmuwan
politik di negeri ini membutuhkan wawasan kependidikan untuk dapat menjelaskan
berbagai persoalan politik dengan baik kepada masyarakat. Pada konteks inilah
kita pantas optimis bahwa pada masa-masa mendatang, kajian-kajian politik
pendidikan akan semakin dibutuhkan sehingga kajian-kajian dalam bidang ini akan
berkembang pesat.
Problem Metodologi Penelitian Politik Pendidikan
Proses kemunculan politik pendidikan sebagai suatu
bidang kajian, baik di kalangan ilmuwan politik maupun ilmuwan pendidikan telah
melalui pergumulan metodologis yang panjang dan penuh perdebatan. Di satu
pihak, para penggagas bidang kajian ini dengan penuh gairah menjelaskan bahwa
kajian politik pendidikan adalah kajian yang penting dilakukan, baik oleh para
ilmuwan politik maupun para ilmuwan pendidikan.
Namun, tanpa penjelasan dan metodologis yang jelas
ternyata sulit untuk bisa diminati. Hingga awal 1970-an, kajian politik
pendidikan belum memiliki basis metodologi yang mantap, walaupun pada saat ini
penelitian yang terfokus pada bidang kajian ini sudah cukup berkembang.
Kelemahan metodologis tersebut dipengaruhi oleh karakteristik dan keterbatasan
metodologis dalam tradisi studi politik dan kependidikan yang menjadi induknya.
Dalam rangka meminimalisasi berbagai problem
metodologis yang ada dalam studi politik pendidikan, maka perlu dikembangkan
prioritas-prioritas dalam bidang kajian ini. Menurut Harman (1980:11-120, ada
enam prioritas utama yang mendesak untuk dilakukan. Pertama, studi dengan
penekanan pada teori dan pengembangan teori. Kedua, melakukan studi komparatif.
Ketiga, membuat summary atau melakukan studi interpretatif. Keempat,
melakukan studi dengan fokus utama pada tingkat makro. Kelima, melakukan studi
tentang pemerintah pusat dan pendidikan. Dan, Keenam, melakukan studi tentang
persoalan di seputar kebijakan.
Aspek-Aspek Politik Desentralisasi Pendidikan
Menurut Bray (1984: 5) desentralisasi adalah
“proses ketika tingkat-tingkat hierarki di bawahnya diberi wewenang oleh badan
yang lebih tinggi untuk mengambil keputusan tentang penggunaan sumber daya
organisasi”. Adapun menurut Burnett, et.al. (1995), desentralisasi pendidikan
adalah “otonomi untuk menggunakan input pembelajaran sesuai dengan tuntutan
sekolah dan komunitas lokal yang dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tua
dan komunitas” Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah,
desentralisasi adalah “penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dalam sistem Negara
kesatuan Republik Indonesia”.
Dilihat dari sasarannya, desentralisasi pendidikan
bisa bersifat politik atau demokratik dan bisa juga bersifat administratif
(Fiske dan Drost, 1998:17-19). Desentralisasi pendidikan bersifat politik dan
demokrasi manakala penyerahan kekuasaan untuk membuat keputusan tentang
pendidikan diberikan oleh pemerintah kepada rakyat atau wakil-wakilnya di
tingkat pemerintahan yang lebih rendah, di dalam dan di luar sistem.
Desentralisasi administratif atau birokrasi merupakan suatu strategi manajemen
bahwa kekuasaan politik tetap berada di tangan pejabat-pejabat pusat tetapi
tanggung jawab untuk perencanaan , manajemen, keuangan, dan kegiatan-kegiatan
lainnya diserahkan kepada pemerintah di tingkat yang lebih rendah atau
badan-badan semi otonom yang berada di dalam sistem.
Dilihat dari jenis wewenangnya yang diberikan,
desentralisasi dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu : Pertama,
Dekonsentrasi adalah bentuk terlemah dari desentralisasi karena tidak lebih
dari sekedar memindahkan tanggung jawab sebagai manajemen dari pusat ke provinsi
atau tingkat-tingkat yang lebih rendah sedemikian rupa sehingga pemerintah
pusat mempunyai kontrol penuh. Kedua, Delegasi adalah jenis desentralisasi
dalam bentuk yang lebih ekstensif, di mana lembaga-lembaga pusat meminjamkan
wewenang ke pemerintah di tingkat-tingkat yang lebih rendah atau bahkan ke
organisasi-organisasi otonom. Ketiga, devolusi adalah bentuk desentralisasi
yang paling besar pengaruhnya, yakni menyerahkan wewenang keuangan,
administrasi atau urusan secara permanen dan tidak dapat dibatalkan secara
tiba-tiba oleh pejabat di pusat begitu saja.
Perubahan paradigma pendidikan nasional dari
sentralisasi ke desentralisasi membawa implikasi politik yang sangat luas.
Walaupun di atas kertas dan dalam retorika penyampaiannya sarat dengan semangat,
nilai-nilai, kepentingan-kepentingan, dan tujuan politik. Apabila aspek-aspek
politik lebih mengedepankan ketimbang aspek-aspek pendidikan, maka
desentralisasi pendidikan hanya akan menjadi “dagelan politik” yang tidak
mengubah kinerja atau mutu pendidikan. Desentralisasi hanya akan menjadi status
de yure, bukan status de facto sistem pendidikan nasional.
Desentralisasi pendidikan yang saat ini diterapkan
dalam sistem pendidikan nasional cenderung mengambil bentuk dekonsentrasi,
bahwa pemerintah daerah hanya menjadi perpanjangan tangan fungsi-fungsi
manajemen milik pemerintah pusat. Berbagai keputusan fundamental dalam bidang
pendidikan dan nilai-nilai pendidikan tumbuh dan berkembang dalam sistem
pendidikan nasional adalah nilai-nilai pendidikan milik pemerintah pusat, bukan
milik pemerintah daerah.
Agar desentralisasi benar-benar menjadi status de facto sistem
pendidikan nasional, maka desentralisasi yang diterapkan harus beralih dari
dekonsentrantrasi ke delegasi atau devolusi. Desentralisasi pendidikan di
Indonesia juga memerlukan dukungan institusional. Salah satu prinsip dasar
desentralisasi adalah bekerjanya institusi-institusi yang ada secara demokrasi
dan telah tersedianya proses sosial dan politik yang memungkinkan anggota
masyarakat berperan lebih besar dalam pengambilan kebijakan dan menuntut
akuntabilitas institusi-institusi pendidikan yang ada di tingkat daerah.
Dan harapan terbesar masyarakat Indonesia adalah
ketika segala sesuatunya berjalan sinergi antara masyarakat bawah dengan para
elite negara dan juga antara politik dan pendidikan, meskipun politik dan
pendidikan adalah suatu hal yang tak bisa dipisahkan dan selalu seiring
sejalan, jangan sampai memanfaatkan dunia pendidikan, dunia yang sarat akan keilmuan,
dan di dunia pendidikan ini pula generasi muda akan di bentuk. Jangan sampai
karena kepentingan satu orang, terus menghancurkan generasi muda yang ada yaitu
generasi yang akan memimpin negara ini di masa yang akan datang.{Ђ}