Oleh: Nakoela Soenarta
BIAYA pendidikan akademis tidak pernah murah. Yang
membuat biaya pendidikan terlihat tinggi karena dibandingkan dengan penghasilan
rata-rata rakyat Indonesia. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah kolonial
sebenarnya tidak berniat mendirikan universitas. Mereka mendirikan hogeschool
agar lulusan dapat membantu mission mereka menjajah rakyat Indonesia dengan
mudah karena dapat memanfaatkan tenaga inlanders untuk diangkat sebagai
pembantu utamanya.
Meski demikian, pemerintah kolonial akhirnya
membuat sekolah juga. Pada mulanya, pemerintah kolonial mendirikan sekolah
Nederlands Indische Artsen School di Surabaya. Lalu, didirikan School tot
Opleiding voor Indische Artsen di Batavia. Di beberapa kota besar seperti
Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta didirikan Algemene Middelbare School (AMS),
Middelbare Opleiding School voor Indlandse Amstenaren di Magelang, Middelbare
Opleiding School voor Inlandse Bestuur Ambtenaren di Bandung, Middelbare
Landbouw School di Bogor dan Ungaran. Juga Veeartsen School di Bogor. Sekolah-sekolah
itu adalah setara dengan jenjang sekolah menengah. Setelah itu, pemerintah
kolonial baru mendirikan Rechts Hogeschool (RH) dan Geneeskundige Hogeschool di
Jakarta. Di Bandung, pemerintah kolonial mendirikan Technische Hogeschool (TH).
Kebanyakan dosen TH adalah orang Belanda.
Pada zaman kolonial (kalau tidak salah ingat dan
penulis tidak salah membaca sejarah), hanya ada seorang pribumi yang menjadi
guru besar, yaitu Prof Husein Djajadiningrat, yang kemudian menjabat Direktur
Departement Van Onderwijs en Eredienst, disusul kemudian oleh Prof Dr Mr Supomo
yang mengajar di RH. Sementara universitasnya baru didirikan setelah Perang
Dunia II usai dan pemerintah kolonial mau menjajah kembali Indonesia.
Bagi kaum inlanders atau pribumi, mereka agak sulit
untuk masuk ke sekolah-sekolah tinggi itu. Bahkan, ketika almarhum Prof
Roosseno lulus TH, jumlah lulusan yang bukan orang Belanda hanya tiga orang,
yaitu Roosseno dan dua orang lagi Vreemde Oosterling alias keturunan Tionghoa.
Bila demikian, lantas berapa orang yang lulus bersama almarhum Ir Soekarno
(presiden pertama RI) dan Ir Putuhena? Di zaman pendudukan Jepang, pernah
dicari 100 orang insinyur yang dibutuhkan. Padahal saat itu belum ada 90 orang
insinyur lulusan TH Bandung.
Biaya kuliah untuk satu tahun di salah satu
sekolah tinggi itu besarnya fl (gulden) 300. Saat itu, harga satu kilogram (kg)
beras sama dengan 0,025 gulden. Maka, besar uang kuliah sama dengan 12.000 kg
beras. Bila ukuran dan perbandingan itu diterapkan sebagai biaya kuliah di universitas
sekarang, sedangkan harga beras sekarang rata-rata Rp 3.000 per kg, maka untuk
kuliah di universitas biayanya sebesar Rp 36 juta per mahasiswa per tahun.
Biaya di MULO, setingkat sekolah lanjutan tingkat
pertama, adalah sebesar 5,60 gulden per siswa per bulan, setara dengan 224 kg
beras. Bila dihitung dengan harga beras sekarang, akan menjadi Rp 672.000 per
siswa per bulan. Maka, saat itu banyak orang masuk ke Ambachtschool atau
Technische School, karena biayanya agak murah sedikit. Berbekal keterampilan
yang diperoleh di Ambachtschool atau Technische School, siswa bisa langsung
bekerja setelah lulus.
Meski biaya sekolah mahal, bagi siswa yang berasal
dari keluarga tidak mampu secara ekonomis, tetapi mempunyai bakat dan nilai
rapor bagus, kepala sekolah dapat mengajukan pembebasan biaya uang sekolah ke
Departement O & E. Biasanya, bila pengajuan pembebasan biaya diajukan oleh
Direktur MULO atau AMS, Departemen O & E akan mengabulkan, bahkan amat
mungkin siswa bersangkutan juga diberi beasiswa untuk hidup.
Dari pengalaman pribadi, orang tua saya berpenghasilan
100 gulden sebulan. Dengan penghasilan itu, hampir mustahil orang tua saya bisa
mengirimkan keempat anaknya menikmati pendidikan tinggi. Meski demikian, dengan
kerja keras, saya dan semua adik saya dapat menikmati pendidikan tinggi.
Bahkan, saya dan beberapa ratus teman pada tahun awal kemerdekaan, ketika
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) masih miskin, dapat menikmati
beasiswa.
Pada tahun 1950, NKRI baru saja menyelesaikan
perang kemerdekaan melawan penjajah Belanda. Toh Pemerintah NKRI yang masih
miskin mampu memprogramkan pendidikan bagi kader bangsanya. Ratusan pemuda
Indonesia dibiayai Pemerintah NKRI untuk meneruskan pendidikannya di perguruan
tinggi, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Dewasa ini NKRI sudah
begitu kaya, mengapa beasiswa bagi para kader bangsa tidak lancar? Padahal NKRI
ingin mencerdaskan kehidupan bangsa, sedangkan penghasilan rakyatnya amat
rendah. Kepada mereka yang rajin dan cerdas, sudah seharusnya pemerintah
memberikan beasiswa karena pendidikan akademis memang mahal.
Seyogianya industri atau instansi pemerintah
menyerahkan tugas penelitiannya kepada universitas sehingga biaya penelitian
yang harus dipikul perguruan tinggi dapat dibantu atau bahkan dipikul industri
dan instansi pemerintah. Dengan demikian, biaya bagi mahasiswa dapat dikurangi.
Juga cara perguruan tinggi melakukan pembibitan, jangan langsung diambil dari
yang fresh graduate. Lebih-lebih kalau dosen muda itu lulusan perguruan tinggi
itu karena akan timbul inbreeding bila mereka tidak disekolahkan ke tingkat
lanjutan atau dimagangkan di profesi tertentu. Dosen di perguruan tinggi
membutuhkan pengalaman kerja di luar perguruan tinggi, di mana mereka dapat
menerapkan ilmu dan pengetahuan yang dikuasai. Maka, di luar negeri banyak
profesor yang diambil dari industri atau instansi. Mereka sudah pernah menguji
kemampuannya untuk berkompetisi dengan alumni dari perguruan tinggi lain.
Setelah diketahui kemampuannya, mereka dipanggil untuk menjadi profesor di
perguruan tertentu.
Profesor yang mengajar di universitas seyogianya
mampu mengembangkan ilmunya melalui riset yang dilakukan para kandidat doktor
yang dibimbingnya. Bila ada profesor yang tidak membimbing doktor, maka
risetnya sudah berhenti atau ilmunya tidak berkembang. Mereka yang tidak mampu
mempromotori doktor jangan diangkat sebagai profesor, cukup lektor kepala saja.
Apakah tugas seorang profesor hanya mengajar dari buku yang ditulis rekannya
saja?
Seorang profesor harus mau mengembangkan ilmunya
dengan cara mempromotori kandidat doktor bidang ilmunya. Bila tidak demikian,
perkembangan perguruan tinggi akan menjadi seperti sekolah menengah atas plus.
Pada umumnya, perguruan tinggi mengembangkan ilmu yang dikuasai profesornya,
maka biaya untuk belajar di perguruan tinggi selalu mahal. Dari perguruan
tinggi inilah timbul inovasi dan kreasi yang selanjutnya dapat dimanfaatkan
masyarakat untuk mempertahankan hidupnya aman dan nyaman.
Perguruan tinggi yang satu akan bersaing dengan
perguruan tinggi lainnya, terutama dalam kemajuan ilmu dari hasil risetnya.
Mengingat biaya penelitian tidak murah, untuk dapat mengikuti kuliah di
perguruan tinggi dibutuhkan biaya tidak sedikit. Bila hasil riset dapat langsung
diaplikasikan dan dapat dijual ke industri atau instansi terkait, hasil ini
secara kumulatif dapat digunakan membiayai riset berikutnya. Jadi, hasil riset
dapat menumbuhkan multiplier effect. Biaya mengikuti pendidikan di perguruan
tinggi yang mahal bukan hanya terjadi di Indonesia. Di negara mana pun tetap
tinggi dan penghasilan para profesornya pun amat memadai. Dengan demikian,
tidak ada profesor yang bekerja di tempat lain (nyambi), kecuali di bidang
pendidikan.
Di luar negeri, bila ada seorang direktur industri
atau instansi dipanggil untuk menjabat profesor di salah satu perguruan tinggi,
jabatannya akan ditinggalkan. Karena, jabatan profesor di perguruan tinggi
lebih terhormat dan penghasilannya meningkat. Keadaan ini berbeda dengan
situasi perguruan tinggi di Indonesia. Bila seorang profesor diminta menjadi
direktur salah satu industri atau instansi, jabatan di perguruan tingginya akan
ditinggalkan. Karena, penghasilan profesor di perguruan tinggi Indonesia rendah.
Dengan biaya kuliah yang tinggi, perguruan tinggi
diharapkan akan menghasilkan riset dan ilmu yang sepadan. Menurut saya, tidak
semua pemuda harus kuliah di perguruan tinggi bila kemampuan berpikirnya tidak
cukup baik. Lebih baik mereka masuk akademi yang mengajarkan ilmu terapan,
profesi dan kompetensi yang amat dibutuhkan oleh masyarakat.
Sebetulnya, yang dibutuhkan masyarakat adalah ilmu
dari seseorang yang dapat disumbangkan, bukan suatu gelar yang menempel pada
namanya, tetapi tidak dapat dimanfaatkan masyarakat. Janganlah membanggakan
diri dengan gelar yang dijualbelikan seperti pernah disinyalir Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi. Semoga masyarakat tidak silau melihat beberapa
gelar yang dipajang di sekitar nama seseorang.
Nakoela Soenarta adalah Guru Besar Ilmu Teknik Mesin di FTUI,
ISTN, dan FTUP