Oleh: Dr.
Haryatmoko
Banyak pengamat politik berpandangan sinis:
"Berbicara etika politik itu seperti berteriak di padang gurun."
"Etika politik itu nonsens". Realitas politik adalah pertarungan
kekuatan dan kepentingan. Politik dibangun bukan dari yang ideal, tidak tunduk
kepada apa yang seharusnya. Dalam politik, kecenderungan umum adalah tujuan
menghalalkan segala cara. Dalam konteks ini, bagaimana etika politik bisa
berbicara?
Urgensi etika politik
Kalau orang menuntut keadilan, berpihak pada
korban, memberdayakan masyarakat melalui civil society, membangun demokrasi,
bukanlah semua itu merupakan upaya mewujudkan etika politik? Dalam situasi
kacau, bukankah etika politik menjadi makin relevan? Pertama, betapa kasar dan
tidak santunnya suatu politik, tindakannya membutuhkan legitimasi. Legitimasi
tindakan ini mau tidak mau harus merujuk pada norma-norma moral, nilai-nilai
hukum atau peraturan perundangan. Di sini letak celah di mana etika politik
bisa berbicara dengan otoritas. Kedua, etika politik berbicara dari sisi
korban. Politik yang kasar dan tidak adil akan mengakibatkan jatuhnya korban.
Korban akan membangkitkan simpati dan reaksi indignation (terusik dan protes
terhadap ketidakadilan). Keberpihakan pada korban tidak akan mentolerir politik
yang kasar. Jeritan korban adalah berita duka bagi etika politik. Ketiga,
pertarungan kekuasaan dan konflik kepentingan yang berlarut-larut akan
membangkitkan kesadaran akan perlunya penyelesaian yang mendesak dan adil.
Penyelesaian semacam ini tidak akan terwujud bila tidak mengacu ke etika
politik. Seringnya pernyataan "perubahan harus konstitusional",
menunjukkan etika politik tidak bisa diabaikan begitu saja.
Kekhasan etika politik
Tujuan etika politik adalah mengarahkan ke hidup
baik, bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan
dan membangun institusi-institusi yang adil (Paul Ricoeur, 1990). Definisi
etika politik membantu menganalisa korelasi antara tindakan individual,
tindakan kolektif, dan struktur-struktur yang ada. Penekanan adanya korelasi
ini menghindarkan pemahaman etika politik yang diredusir menjadi hanya sekadar
etika individual perilaku individu dalam bernegara. Pengertian etika politik
dalam perspektif Ricoeur mengandung tiga tuntutan, pertama, upaya hidup baik
bersama dan untuk orang lain...; kedua, upaya memperluas lingkup kebebasan...,
ketiga, membangun institusi-institusi yang adil. Tiga tuntutan itu saling
terkait. "Hidup baik bersama dan untuk orang lain" tidak mungkin
terwujud kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka institusi-institusi
yang adil. Hidup baik tidak lain adalah cita-cita kebebasan: kesempurnaan
eksistensi atau pencapaian keutamaan. Institusi-institusi yang adil
memungkinkan perwujudan kebebasan dengan menghindarkan warganegara atau
kelompok-kelompok dari saling merugikan. Sebaliknya, kebebasan warganegara
mendorong inisiatif dan sikap kritis terhadap institusi-institusi yang tidak
adil. Pengertian kebebasan yang terakhir ini yang dimaksud adalah syarat fisik,
sosial, dan politik yang perlu demi pelaksanaan konkret kebebasan atau disebut
democratic liberties: kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul,
kebebasan mengeluarkan pendapat, dan sebagainya.
Dalam definisi Ricoeur, etika politik tidak hanya
menyangkut perilaku individual saja, tetapi terkait dengan tindakan kolektif
(etika sosial). Dalam etika individual, kalau orang mempunyai pandangan
tertentu bisa langsung diwujudkan dalam tindakan. Sedangkan dalam etika
politik, yang merupakan etika sosial, untuk dapat mewujudkan pandangannya
dibutuhkan persetujuan dari sebanyak mungkin warga negara karena menyangkut
tindakan kolektif. Maka hubungan antara pandangan hidup seseorang dengan
tindakan kolektif tidak langsung, membutuhkan perantara. Perantara ini
berfungsi menjembatani pandangan pribadi dengan tindakan kolektif. Perantara
itu bisa berupa simbol-simbol maupun nilai-nilai: simbol-simbol agama,
demokrasi, dan nilai-nilai keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan sebagainya.
Melalui simbol-simbol dan nilai-nilai itu, politikus berusaha meyakinkan
sebanyak mungkin warga negara agar menerima pandangannya sehingga mendorong
kepada tindakan bersama. Maka politik disebut seni karena membutuhkan kemampuan
untuk meyakinkan melalui wicara dan persuasi, bukan manipulasi, kebohongan, dan
kekerasan. Etika politik akan kritis terhadap manipulasi atau penyalahgunaan
nilai-nilai dan simbol-simbol itu. Ia berkaitan dengan masalah struktur sosial,
politik, ekonomi, dan budaya yang mengkondisikan tindakan kolektif.
Etika politik vs Machiavellisme
Tuntutan pertama etika politik adalah "hidup
baik bersama dan untuk orang lain". Pada tingkat ini, etika politik
dipahami sebagai perwujudan sikap dan perilaku politikus atau warga negara.
Politikus yang baik adalah jujur, santun, memiliki integritas, menghargai orang
lain, menerima pluralitas, memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum, dan
tidak mementingkan golongannya. Jadi, politikus yang menjalankan etika politik
adalah negarawan yang mempunyai keutamaan-keutamaan moral. Dalam sejarah
filsafat politik, filsuf seperti Socrates sering dipakai sebagai model yang
memiliki kejujuran dan integritas. Politik dimengerti sebagai seni yang
mengandung kesantunan. Kesantunan politik diukur dari keutamaan moral.
Kesantunan itu tampak bila ada pengakuan timbal balik dan hubungan fair di antara
para pelaku. Pemahaman etika politik semacam ini belum mencukupi karena sudah
puas bila diidentikkan dengan kualitas moral politikus. Belum mencukupi karena
tidak berbeda dengan pernyataan. "Bila setiap politikus jujur, maka
Indonesia akan makmur". Dari sudut koherensi, pernyataan ini sahih, tidak
terbantahkan. Tetapi dari teori korespondensi, pernyataan hipotesis itu terlalu
jauh dari kenyataan (hipotetis irealis).