Awal abad ke-21 ini ditandai oleh
perubahan yang mencengangkan. Kenyataan tersebut telah menghadapkan masalah
agama kepada suatu kesadaran kolektif, bahwa penyesuaian struktural dan
kultural pemahaman agama adalah suatu keharusan. Hal ini hendaknya tidak
dilihat sebagai suatu upaya untuk menyeret agama, untuk kemudian diletakkan
dalam posisi sub-ordinate dalam hubungannya dengan
perkembangan sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang sedemikian cepat
itu. Alih-alih, hal itu hendaknya dipahami sebagai usaha untuk
menengok kembali keberagaman masyarakat beragama. Dengan demikian revitalisasi
kehidupan keberagamaan tidak kehilangan konteks dan makna empiriknya. Keharusan
tersebut dapat juga diartikan sebagai jawaban masyarakat beragama terhadap
perubahan yang terjadi secara cepat.
Sebagai agen perubahan sosial, pendidikan
Islam yang berada dalam atmosfir modernisasi dan globalisasi dewasa ini
dituntut untuk mampu memainkan perannya secara dinamis dan proaktif.
Kehadirannya diharapkan mampu membawa perubahan dan kontribusi yang berarti
bagi perbaikan umat Islam, baik pada tataran intelektual teoritis maupun
praktis. Pendidikan Islam bukan sekadar proses penanaman nilai moral untuk
membentengi diri dari ekses negatif globalisasi. Tetapi yang paling penting
adalah bagaimana nilai-nilai moral yang telah ditanamkan pendidikan Islam
tersebut mampu berperan sebagai kekuatan pembebas (liberating force)
dari himpitan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan sosial budaya dan
ekonomi.
Globalisasi berpandangan bahwa dunia
didominasi oleh perekonomian dan munculnya hegemoni pasar dunia kapitalis dan
ideologi neoliberal yang menopangnya. Untuk mengimbangi derasnya arus
globalisasi perlu dikembangkan dan ditanamkan karakter nasionalisme guna
menghadapi dampak negatif dari arus globalisasi.
Kehadiran pendidikan Islam, baik ditinjau
secara kelembagaan maupun nilai-nilai yang ingin dicapainya-masih sebatas
memenuhi tuntutan bersifat formalitas dan bukan sebagai tuntutan yang bersifat
substansial, yakni tuntutan untuk melahirkan manusia-manusia aktif penggerak
sejarah. Walaupun dalam beberapa hal terdapat perubahan ke arah yang lebih bak,
perubahan yang terjadi masih sangat lamban, sementara gerak perubahan
masyarakat berjalan cepat, bahkan bisa dikatakan revolusioner, maka di sini
pendidikan Islam terlihat selalu tertinggal dan arahnya semakin terbaca tidak
jelas.
Dalam perkembangannya pendidikan Islam telah
melahirkan dua pola pemikiran yang kontradiktif. Keduanya mengambil bentuk yang
berbeda, baik pada aspek materi, sistem pendekatan, atau dalam bentuk
kelembagaan sekalipun, sebagai akumulasi dari respon sejarah pemikiran manusia
dari masa ke masa terhadap adanya kebutuhan akan pendidikan. Dua model bentuk
yang dimaksud adalah pendidikan Islam yang bercorak tradisonalis dan pendidikan
Islam yang bercorak modernis. Pendidikan Islam yang bercorak tradisionalis
dalam perkembangannya lebih menekankan pada aspek dokriner normatif yang
cenderung eksklusif-literalis, apologetis. Sementara pendidikan Islam modernis,
lama-kelamaan ditengarai mulai kehilangan ruh-ruh dasarnya.
Dalam telaah sosiologis, pendidikan Islam
sebagai sebuah pranata selalu mengalami interaksi dengan pranata sosial
lainnya. Ketika berhubungan dengan nilai-nilai dan pranata sosial lain di luar
dirinya, pendidikan islam menampilkan respons yang tidak sama. Nilai-nilai itu
misalnya adalah modernisasi, perubahan pola kehidupan dari masyarakat agraris
ke masyarakat industrial, atau bahkan post-industrial, dominasi ekonomi
kapitalis yang dalam beberapa hal membentuk pola pikir masyarakat yang juga
kapitalistik dan konsumtif. Berdasarkan penggambaran dua jenis pendidikan di
atas, maka respon yang dilahirkan terhadap penetrasi nilai-nilai kontingen ini
bisa diwujudkan ke dalam dua respon: asimilasi dan alienasi.
Respon yang bersifat asimilatif mengandalkan
terjadinya persentuhan dan penerimaan yang lebih terbuka dari nilai-nilai dasar
pendidikan Islam dengan nilai kontingen, baik yang tradisonal maupun modern.
Karena sifatnya yang asimilatif, kategori respon ini agak mengkhawatirkan,
karena bisa saja nilai-nilai baru yang berpenetrasi ke dalam masyarakat di mana
pendidikan Islam itu berlangsung akan lebih dominan daripada nilai-nilai dasar
Islamnya. Sebaliknya, respon yang bersifat alternatif akan menjadikan Islam
sebagai sebuah entitas yang ‘terkurung’ dalam satu ‘ruang asing’ yang terpisah
dari entitas dunia lain. Sistem pendidikan Islam yang memberikan wibawa
terlampau besar kepada tradisi (terutama teks tradisional) dari guru, serta
lebih membina hafalan daripada daya pemikiran kritis; walaupun sejak zaman
reformasi Islam, lebih lagi pada dasawarsa terakhir, dunia Islam menyaksikan
berbagai usaha melepaskannya, sikap tradisionalis tersebut sampai sekarang
masih menguasai dunia pendidikan Muslim.
Tentu saja semua faktor kelemahan tradisi
ilmiah di kalangan Muslim yang disebutkan tidak tampil secara merata pada semua
periode pemikiran dan kelompok ilmuwan. Namun pada umumnya bebannya masih
terasa dewasa ini. Jika ini terjadi, secara teoritis, pendidikan Islam tidak
akan pernah mampu memberikan jawaban terhadap tuntutan liberalisasi, dan
humanisasi. Baik respon dalam bentuk asimilasi maupun alienasi sama-sama
mengandung kelemahan. Dominasi nilai-nilai kontingen dalam asimilasi akan
menjadikan pendidikan islam kokoh secara metodologis, memberikan perhatian yang
memadai kepada humanisasi dan liberasi, tetapi menaruh penghargaan yang kecil
terhadap persoalan transendensi. Sementara respon dalam bentuk asimilasi,
karena kuatnya berpegang kepada nilai-nilai inheren pendidikan Islam dan
cenderung “menolak” nilai kontingen, menjadikannya kuat dalam dimensi
transendental, tetapi lemah dalam metodologi, liberalisasi dan humanisasi.
Perubahan masyarakat yang terpenting pada
awal abad ke-21 ini, ditandai dengan perkembangan teknologi komunikasi,
transportasi, dan informasi yang sedemikian cepat. Dengan itu dunia menjadi
‘kecil’ dan mudah dijangkau. Apa yang terjadi di belahan bumi paling ujung
dapat segera diketahui oleh masyarakat yang berada di ujung lain. ² Dalam
konteks ekonomi politik, kenyataan tersebut bahkan dijadikan faktor penting
untuk melihat kemungkinan memudarnya batas-batas teritorial negara-bangsa, yang
oleh Kenichi Ohmae disebut the end of the nation state.
Dari sisi politik, dapat dikatakan bahwa
masyarakat global dewasa ini sangat dekat dengan isu-isu popular, seperti
keterbukaan, hak asasi manusia, dan demokratisasi. Demikian pula, dari sudut
ekonomi, perdagangan, dan pasar internasional. Atau sebagaimana dikatakan oleh
Ahmed dan Donnan. They locked together in what has been referred to as
the economic world system.
Dalam
kerangka struktur berpikir masyarakat agama, proses globalisasi dianggap
berpengaruh atas kelangsungan perkembangan identitas tradisional dan
nilai-nilai agama. Kenyataan tersebut tidak lagi dapat dibiarkan oleh
masyarakat agama. Karenanya, respon-respon konstruktif dari kalangan pemikir
dan aktivitas agama terhadap fenomena di atas menjadi sebuah keharusan. Dalam
alur seperti ini, sebenarnya yang terjadi adalah dialog positif antara prima
facie norma-norma agama dengan realitas empirik yang selalu
berkembang. Meskipun demikian, penting untuk dicatat, bahwa ‘pertemuan’ (encounter)
masyarakat agama dengan realitas empirik tidak selalu mengambil bentuk wacana
dialogis yang konstruktif. Alih-alih yang muncul adalah mitos-mitos ketakutan
yang membentuk kesan, bahwa globalisasi dengan serta yang membentuk kesan,
bahwa globalisasi dengan serta-merta menyebabkan posisi agama berada di
pinggiran. Sebagaimana ditulis oleh Ernest Gellner: “One of the best known
and most widely held ideas in the social sciences is the secularization thesis:
in industrial and industrializing societies, in influence of religion
diminishes. There is a number of versions of this theory: the scientific basis
of the new technology undermines faith, or the erosion of social units deprives
religion of its organizational base, or doctrinally centralized, unitarian,
rationalized religion eventually cuts its own throat”.
Kekhawatiran-kekhawatiran di atas sepenuhnya
dapat dipahami. Meskipun demikian, hendaknya masyarakat agama tidak kehilangan
penglihatan yang lebih luas. Sebanding dengan berkembangnya proses globalisasi,
revitalisasi agama juga kembali mewarnai diskursus keagamaan sejak
dasawarsa 1980-an. Sejak periode itu, pendulum kehidupan sosial-politik
Amerika Serikat-untuk menyebut contoh kasus sebuah negara yang sering dipandang
sebagai ‘sekular’ – bergerak ke ‘kanan’.fenomena ini menandai bangkitnya
kesadaran kolektif akan arti penting agama dalam kehidupan sosial, budaya,
ekonomi, dan politik negara itu.
Disarikan dari Tulisan:
Dr. H. Endang Komara, M.Si
Referensi
Tambahan
Idris, S & Tabrani, Z. A. (2017). Realitas Konsep Pendidikan Humanisme
dalam Konteks Pendidikan Islam. Jurnal Edukasi: Jurnal Bimbingan
Konseling, 3(1), 96-113.
Musradinur & Tabrani.
ZA. (2015). Paradigma Pendidikan Islam Pluralis Sebagai Solusi
Integrasi Bangsa (Suatu Analisis Wacana Pendidikan Pluralisme Indonesia).
Proceedings 1st
Annual International Seminar on Education 2015. Banda Aceh: FTK Ar-Raniry Press, 77-86
Tabrani.
ZA & Hayati. (2013). Buku Ajar Ulumul
Qur`an (1). Yogyakarta:
Darussalam Publishing, kerjasama dengan Universitas Serambi Mekkah, Banda Aceh
Tabrani.
ZA & Masbur, M. (2016). Islamic Perspectives on the Existence of Soul and
Its Influence in Human Learning (A Philosophical Analysis of the Classical and
Modern Learning Theories). Jurnal
Edukasi: Jurnal Bimbingan Konseling, 1(2),
99-112.
Tabrani.
ZA. (2008). Mahabbah dan Syariat. Selangor: Al-Jenderami Press
Tabrani.
ZA. (2009). Ilmu Pendidikan Islam (Antara Tradisional dan Modern).
Selangor: Al-Jenderami Press
Tabrani.
ZA. (2011).
Dynamics of Political System of Education Indonesia. International Journal
of Democracy, 17(2), 99-113
Tabrani.
ZA. (2011). Nalar Agama dan Negara dalam Perspektif Pendidikan Islam. (Suatu
Telaah Sosio-Politik Pendidikan Indonesia). Millah Jurnal Studi Agama,
10(2), 395-410
Tabrani.
ZA. (2011). Pendidikan Sepanjang Abad (Membangun Sistem Pendidikan Islam di
Indonesia Yang Bermartabat). Makalah disampaikan pada Seminar Nasional 1
Abad KH. Wahid Hasyim. Yogyakarta: MSI UII, April 2011.
Tabrani. ZA. (2012). Future
Life of Islamic Education in Indonesia. International Journal of Democracy,
18(2), 271-284
Tabrani. ZA. (2012). Hak
Azazi Manusia dan Syariat Islam di Aceh. Makalah disampaikan pada International
Conference Islam and Human Right, MSI UII April 2012, 281-300
Tabrani.
ZA. (2013). Kebijakan Pemerintah dalam
Pengelolaan Satuan Pendidikan Keagamaan Islam (Tantangan Terhadap Implementasi
Manajemen Berbasis Sekolah), Jurnal Ilmiah Serambi Tarbawi, 1(2),
65-84
Tabrani. ZA. (2013).
Modernisasi Pendidikan Islam (Suatu Telaah Epistemologi Pendidikan), Jurnal
Ilmiah Serambi Tarbawi, 1(1), 65-84
Tabrani.
ZA. (2013). Pengantar Metodologi Studi
Islam. Banda Aceh: SCAD
Independent
Tabrani. ZA. (2013). Urgensi
Pendidikan Islam dalam Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal
Sintesa, 13(1), 91-106
Tabrani.
ZA. (2014). Buku Ajar Filsafat Umum. Yogyakarta: Darussalam Publishing, kerjasama
dengan Universitas Serambi Mekkah, Banda Aceh
Tabrani. ZA. (2014). Buku Ajar Penelitian Tindakan Kelas (PTK) (Bahan Ajar untuk
Mahasiswa Program Srata Satu (S-1) dan Program Profesi Keguruan (PPG)). Banda Aceh: FTK Ar-Raniry Press
Tabrani.
ZA. (2014). Dasar-Dasar Metodologi
Penelitian Kualitatif. Yogyakarta:
Darussalam Publishing
Tabrani. ZA. (2014). Islamic Studies dalam Pendekatan Multidisipliner
(Suatu Kajian Gradual Menuju Paradigma Global). Jurnal Ilmiah Peuradeun, 2(2),
127-144.
Tabrani.
ZA. (2014). Isu-Isu Kritis dalam Pendidikan
Islam. Jurnal Ilmiah Islam Futura,
13(2), 250-270
Tabrani.
ZA. (2014). Menelusuri Metode Pendidikan
dalam Al-Qur`an dengan Pendekatan Tafsir Maudhu`i. Jurnal Ilmiah
Serambi Tarbawi, 2(1), 19-34
Tabrani.
ZA. (2015). Arah Baru Metodologi Studi
Islam. Yogyakarta: Penerbit Ombak
Tabrani.
ZA. (2015). Keterkaitan Antara Ilmu Pengetahuan dan Filsafat (Studi
Analisis atas QS. Al-An`am Ayat 125). Jurnal Sintesa, 14(2), 1-14
Tabrani.
ZA. (2015). Persuit Epistemologi of Islamic Studies (Buku 2 Arah Baru
Metodologi Studi Islam). Yogyakarta:
Penerbit Ombak
Tabrani.
ZA. (2016). Aliran Pragmatisme dan
Rasionalisasinya dalam Pengembangan Kurikulum 2013, dalam Saifullah Idris
(ed.), Pengembangan Kurikulum: Analisis Filosofis dan Implikasinya dalam
Kurikulum 2013, Banda Aceh: FTK Ar-Raniry Press 2016
Tabrani. ZA. (2016). Perubahan Ideologi Keislaman Turki (Analisis
Geo-Kultur Islam dan Politik Pada Kerajaan Turki Usmani). Jurnal
Edukasi: Jurnal Bimbingan Konseling, 2(2), 130-146.
Tabrani.
ZA. (2016). Transpormasi Teologis Politik Demokrasi Indonesia (Telaah Singkat
Tentang Masyarakat Madani dalam Wacana Pluralisme Agama di Indonesia). Al-Ijtima`i- International
Journal of Government and Social Science, 2(1), 41-60
Walidin, W., Idris, S
& Tabrani. ZA. (2016). Metodologi Penelitian Kualitatif dan Grounded
Theory. Banda Aceh: FTK Ar-Raniry Press