Peran
perempuan dalam kehidupan selalu dinomorduakan, dibelakang laki-laki merupakan
tugas yang utama. Entah
benar atau entah itu salah. Siapa yang tahu ini benar atau salah? “Aku
sudah begitu dewasa untuk tidak melihat nilai keduanya”. Pepatah
sebagaimana kita tahu, berkata “Bahwa dibalik kesuksesan laki-laki ada
wanita hebat dibelakanganya”.
Mari
kita merabanya, menelisik ciri dan permainan didalamnya. Kalimat maut itu yang
menjadi jeruji pemikiran manusia. Walau terkesan berniali positif tetapi jika
diteliti lebih jauh, perempuan hanyalah seorang supporter, bukan inti dari
pelaksanaan. Tanpa
menafikkan peran yang dilakukan tentunya. Atau bisa jadi perempuan adalah otak
dari permainan, dia adalah Tuhan laki-laki, menggerakkan dalam persembunyiannya
dibalik nama dan daging laki-laki. Atau “Dibalik kehancuran seorang pria ada
perempuan bodoh di dalamnya” bukankah hal ini bernada negatif, tetapi jik
dirimu jeli kau akan melihat betapa memang perempuan ditinggikan disini, perempuan
memang Tuhan bagi laki-laki, dia berperan menentukan. Meski dibelakang dan
tersembunyi.
Sebuah dikusi menarik
tentang pandangan perempuan dewasa ini dalam persamaan gender tetap saja
membawa nilai sinis dan emosional dari perempuan itu sendiri, antara kodrat dan
emansipasi. Kalau dalam dunia crime, ada namanya penyimpang
ganda. perempuan yang melakukan kejahatan dikonstruksi sebagai perempuan setan
dan berbagai demonisasi berlebihan lainnya. di era sekarang biasa
dikonstruksikan lewat media. inget kasus “Kill bill” di RSPAD? atau
waktu gang Nero di Pati.
Kejahatan
yang dilakukan perempuan direspon berlebihan karena perempuan dianggap
melanggar dua hal. Yang pertama adalah hukum, yang kedua adalah Feminitasnya.
ini juga secara enggak langsung membangun dan mempertahankan budaya yang sedang
berkuasa. yaitu budaya status quo yang patriarkis. ini dalam
konteks sosial budaya itu sendiri. Dan jauh berbeda pada masanya, perempuan
berkembang dan menciptakan dirinya menjadi lebih unggul di Barat sana, kita
mengenal nama-nama itu, Madame Roland. Dengan lantang mempertanyakan untuk
memperjuangkan hidup yang absrud ini. kehidupan yang memenjarakan pikiran dalam
kantong kelamin laki-laki dan perempuan.
Falsafah Barat
yang kita kenal, berkisar pada pengetahuan objektif, rasional, universal, dan
kehendak bebas. Nama dan para filosof yang akrab di telinga kita, seperti
Plato, Aristoteles, Descartes, Hume, Dewey, Wittgenstein, Heidegger, yang
berfalsafah dengan “keabsahan, kebenaran, dan keseriusan”, berwajah lelaki, atau
maskulin. Jadi, di manakah perempuan dalam berfalsafah? Bagaimanakah pandangan
filosof lelaki tentang perempuan? Apakah pandangan yang disampaikan para
filosof lelaki tentang manusia, cinta, Tuhan, seks, kerja dan moraliti,
merupakan pandangan dengan dakwaan universal? Apakah falsafah telah ‘menangkap’
suara-suara pinggiran di sekelilingnya?
Jadi,
pertanyaan-pertanyaan ini menjadi menarik jika kita mulai mengaitkan feminisme
dan falsafah. Umpamanya, di manakah suara dan pengalaman ketubuhan dan
keseksualan perempuan (her-story) dalam filsafat? Bagaimanakah pemikiran
para filosof perempuan? Mengapakah filosof perempuan sangat jarang kita dengar,
padahal sejak abad ke-17 telah ditemukan karya-karyanya yang membahas persoalan
kefalsafahan seperti metafisik, epistemologi, teori moral, falsafah sosial dan
politik, estetika, falsafah teologi, falsafah ilmu dan falsafah pendidikan?
Tak seperti
kaum ‘awam’ yang tak duduk di bangku kuliah falsafah dan jauh dari tumpukan
kitab serta diskusi falsafah akademik, wahana teori falsafah nampaknya adalah
kecintaan Gadis Arivia, seorang penulis.
Gadis Arivia
adalah seorang tenaga pengajar di Fakulti Ilmu Pengetahuan Budaya, Universiti
Indonesia (UI). Ia lahir di New Delhi, 8 September 1964, Gadis belajar falsafah
di UI (1989), menyelesaikan studi sarjananya di EHESS (Ecole Haute Scientifique
Sociale), Perancis (1994), dan menyelesaikan Program Doktoral Falsafahnya di UI
pada tahun 2002.
Sebagai hasil
penyelidikan disertasi penulis yang dipertahankan di hadapan sidang akademik UI,
buku ini kaya akan pertanyaan kritis reflektif yang mengajak pembaca memandang
falsafah bukan dari sesuatu yang selalu masa silam, yang jauh dari realita dan
yang bukan juga terlalu mengawang-awang.
Di sinilah
kemudian feminisme, sebagai sebuah gerakan, teori, dan praksis perempuan yang
menyuarakan kesetaraan, hak reproduksi, perbedaan seksual, dan penindasan
perempuan, masuk ke lorong dan sudut-sudut falsafah yang oleh para filosof
lelaki, meninggalkan kesan menampilkan kebenaran tunggal falsafah dan metanarasi
yang kuat sehingga ontologi dan epistemologinya menjadi statis.
Dominasi
jumlah filosof lelaki dan tradisi Barat yang cenderung sendeng terhadap
perempuan memang sangat jelas terlihat. Gadis menunjukkan hal ini dalam
pemaparan sejarah, telaah karya-karya, bahkan “lingkungan pribadi (private
sphere)” filosof lelaki dalam pemetaan diskriminasi falsafah terhadap
perempuan. Persoalan tidak sekadar berhenti pada kuantiti praktis falsafah yang
kebanyakan lelaki, melainkan juga berkait dengan cara pandang tertentu yang
maskulin, hingga menampakkan wajah falsafah yang maskulin.
Semak saja
pandangan filosof-filosof Yunani, Abad Pertengahan, Abad Modern, hingga Abad
ke-20 tentang perempuan yang dikaji Gadis. Mulai dari Plato dengan konsep
manusia perempuannya yang sama dengan hewan dan tidak perlu berpendidikan.
Kemudian Aristoteles yang menempatkan lelaki bebas (free males) sebagai satu
kelas manusia yang harus hidup secara penuh dan melihat yang lainnya sebagai
alat untuk mencapai tujuannya.
Malah, Thomas
Aquinas juga pernah mengatakan bahwa perempuan sebagai defect male,
bukan ciptaan dari produksi pertama seperti halnya lelaki, hingga pernyataan
kontroversial Baudrillard bahwa perempuan sebenarnya adalah sebuah
permukaan/penampakan.
Tak
mengherankan bila filosof-filosof perempuan semasa menuduh bahwa sepanjang
zaman telah ada semacam “siasah” dari filosof lelaki untuk menindas perempuan.
Para feminis menunjukkan bahwa sistem patriarki yang telah dibangun jauh
sebelum sistem kefalsafahan yang mapan telah mempengaruhi pemikiran sebahagian
besar filosof. Namun yang berat kemudian, para filosof ini melegitimasikan
perendahan perempuan sehingga berdampak pada kehidupan awam.
Plato,
Aristoteles, Thomas Aquinas, dan Francis Bacon banyak berhujah soal pentingnya
perempuan berada di domestik dan berfungsi sebagai makhluk bereproduksi.
Filosof seperti Arthur Schopenhauer dan Friedrich Nietzsche, berhujjah akan
sifat perempuan yang memang sudah buruk. Friedrich Nietzsche bahkan menegaskan
bahwa perempuan memiliki mentaliti kehambaan.
Pada akhir
abad ke-19 para feminis cuba mendefinisikan perempuan melalui pendekatan
kesadaran feminis. Para feminis bertanya, apa benar falsafah telah memberikan
pandangan mendalam dan menyeluruh bagi persoalan-persoalan kehidupan maupun
akademik? Mereka menyimpulkan bahwa pada kenyataannya, pemunculan falsafah
Barat tidak bijaksana dalam memperhitungkan suara-suara feminis. Falsafah
mempunyai hubungan keganjilan terhadap perempuan, sehingga pandangan mengenai
perempuan sering kali sendeng, seksis, atau sama sekali diabaikan.
Para feminis
(khsususnya Kate Millet dan Shulamith Firestone) berusaha menunjukkan bahwa
sistem patriarki mempengaruhi dalam memperspektif perempuan. Simone de Beauvoir
memulai dengan pertanyaan “Apa itu perempuan?” dan buku klasiknya Le
Deuxieme Sexe yang turut memuat perbendaharaan baru
seperti “kesetaraan”. Berbeda dengan pemikiran falsafah yang abstrak,
universal, dan rasional, feminisme mengutarakan pengalaman-pengalaman
perempuan, mengajukan pertanyaan yang konkret serta mempersoalkan perdebatan
seksual yang menyebabkan ketidakadilan sosial.
Feminisme
diakui memiliki pemikiran progresif yang mampu mengadakan perubahan sosial
maupun intelektual selama era modernisme dan memberi kesan yang berarti dalam
kemunculan teori postmodenisme. Perdebatan wacana feminisme postmodern inilah
yang kelak berhasil mendekonstruksi wacana sentralistik dan narasi falsafah
Barat yang dominan. Pengetahuan tentang manusia lelaki dan perempuan tidak lagi
satu, melainkan tekstual. Feminisme hadir dan diperlukan untuk terus-menerus
membongkar wacana-wacana misoginis. Pada saat bersamaan, menurut filosof
Prancis Jean Jacques Derrida, dekonstruksi penting bagi feminisme.
Pertama, pemahaman mengenai esensi
perempuan dapat dibongkar karena dianggap hanya sebagai “teks”. Kedua,
pembongkaran tersebut menghasilkan tafsiran berbeda dengan teks-teks yang ada.
Pengalaman perempuan muncul, memperlihatkan perbedaan, bahkan menunjukkan
bagaimana konstruksi nilai perempuan sama sekali tidak inferior.
Ketiga, pembongkaran teks maskulin melahirkan teks-teks feminisme serta suara
feminin yang akhirnya melahirkan tafsiran perempuan yang sepanjang sejarah
telah menjadi pemikiran besar falsafah maskulin.
Dengan
dekonstruksi, tafsiran perempuan muncul baik secara kefalsafahan maupun
feminis. Bagi falsafah feminis sendiri, kaidah dekonstruksi memberikan amunisi
untuk melihat keterpinggiran filosof feminis, membawa suara-suara mereka ke
sentral, mengeluarkan pemikiran kefalsafahannya dan memahami keterkaitan antara
pemikiran falsafah mereka dan eksistensinya sebagai perempuan.
Dengan
demikian, masa depan falsafah adalah juga falsafah feminis yang menghormati
asas pengetahuan pada titik piawai, adanya en-gendering knowledge,
partikulariti/kebenaran plural, dan “yang politik adalah kefalsafahan”. Falsafah
kini diselamatkan oleh filosof feminis yang mengingatkan bahwa cara berfalsafah
adalah cara “bercakap”, bernarasi dari satu teks ke teks lain, dan falsafah
hanya teks yang dapat di dekonstruksi. “Percakapan” dan bukan pencarian
kebenaran, merupakan modus yang membebaskan feminisme dalam falsafah, sekaligus
membebaskan falsafah itu sendiri.
Sebagai sebuah
buku kajian ilmiah falsafah feminis, di tengah gersangnya diskusi dan kajian
feminisme terhadap falsafah maupun sebaliknya, buku ini sungguh menyegarkan dan
memberi sumbangan signifikan bagi masa depan falsafah dan feminisme. Sayang,
kupasan mengenai pemikiran dan wilayah personal para filosof perempuan
dirasakan tidak sedalam yang dilakukan penulis pada bagian filosof lelaki.
Justru,
mungkin karena bahan seputar ini sulit dicari, atau mungkin juga kerana benar
bahwa sejarah mereka tenggelam dalam falsafah maskulin yang selama ini jauh
dari “percakapan”.
Selanjutnya
silahkan di baca dalam buku dengan judul judul: Falsafah Berperspektif
Feminis. Penulis: Gadis Arivia; Penerbit: Yayasan Jurnal Perempuan; Tebal:
336 halaman.
Referensi Tambahan
Idris, S & Tabrani, Z. A. (2017). Realitas Konsep Pendidikan Humanisme
dalam Konteks Pendidikan Islam. Jurnal Edukasi: Jurnal Bimbingan
Konseling, 3(1), 96-113.
Musradinur
& Tabrani. ZA. (2015). Paradigma Pendidikan Islam
Pluralis Sebagai Solusi Integrasi Bangsa (Suatu Analisis Wacana Pendidikan
Pluralisme Indonesia). Proceedings 1st Annual International Seminar on
Education 2015.
Banda Aceh: FTK Ar-Raniry Press, 77-86
Tabrani. ZA & Hayati.
(2013). Buku Ajar Ulumul Qur`an (1). Yogyakarta:
Darussalam Publishing, kerjasama dengan Universitas Serambi Mekkah, Banda Aceh
Tabrani.
ZA & Masbur, M. (2016). Islamic Perspectives on the Existence of Soul and
Its Influence in Human Learning (A Philosophical Analysis of the Classical and
Modern Learning Theories). Jurnal
Edukasi: Jurnal Bimbingan Konseling, 1(2),
99-112.
Tabrani.
ZA. (2008). Mahabbah dan Syariat. Selangor: Al-Jenderami Press
Tabrani.
ZA. (2009). Ilmu Pendidikan Islam (Antara Tradisional dan Modern). Selangor: Al-Jenderami
Press
Tabrani. ZA. (2011).
Dynamics of Political System of Education Indonesia. International Journal
of Democracy, 17(2), 99-113
Tabrani. ZA. (2011). Nalar
Agama dan Negara dalam Perspektif Pendidikan Islam. (Suatu Telaah Sosio-Politik
Pendidikan Indonesia). Millah Jurnal Studi Agama, 10(2), 395-410
Tabrani.
ZA. (2011). Pendidikan Sepanjang Abad (Membangun Sistem Pendidikan Islam di
Indonesia Yang Bermartabat). Makalah disampaikan pada Seminar Nasional 1
Abad KH. Wahid Hasyim. Yogyakarta: MSI UII, April 2011.
Tabrani. ZA. (2012). Future
Life of Islamic Education in Indonesia. International Journal of Democracy,
18(2), 271-284
Tabrani. ZA. (2012). Hak
Azazi Manusia dan Syariat Islam di Aceh. Makalah disampaikan pada International
Conference Islam and Human Right, MSI UII April 2012, 281-300
Tabrani.
ZA. (2013). Kebijakan Pemerintah dalam Pengelolaan
Satuan Pendidikan Keagamaan Islam (Tantangan Terhadap Implementasi Manajemen
Berbasis Sekolah), Jurnal Ilmiah Serambi Tarbawi, 1(2), 65-84
Tabrani.
ZA. (2013). Modernisasi Pendidikan Islam (Suatu Telaah Epistemologi
Pendidikan), Jurnal Ilmiah Serambi Tarbawi, 1(1), 65-84
Tabrani.
ZA. (2013). Pengantar Metodologi Studi
Islam. Banda Aceh: SCAD
Independent
Tabrani.
ZA. (2013). Urgensi Pendidikan Islam dalam Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal
Sintesa, 13(1), 91-106
Tabrani.
ZA. (2014). Buku Ajar Filsafat Umum. Yogyakarta: Darussalam Publishing, kerjasama
dengan Universitas Serambi Mekkah, Banda Aceh
Tabrani.
ZA. (2014). Buku Ajar Penelitian Tindakan Kelas (PTK) (Bahan Ajar untuk
Mahasiswa Program Srata Satu (S-1) dan Program Profesi Keguruan (PPG)). Banda Aceh: FTK Ar-Raniry Press
Tabrani.
ZA. (2014). Dasar-Dasar Metodologi
Penelitian Kualitatif. Yogyakarta:
Darussalam Publishing
Tabrani. ZA. (2014). Islamic Studies dalam Pendekatan Multidisipliner
(Suatu Kajian Gradual Menuju Paradigma Global). Jurnal Ilmiah Peuradeun, 2(2),
127-144.
Tabrani.
ZA. (2014). Isu-Isu Kritis dalam Pendidikan
Islam. Jurnal Ilmiah Islam Futura,
13(2), 250-270
Tabrani. ZA. (2014). Menelusuri Metode Pendidikan
dalam Al-Qur`an dengan Pendekatan Tafsir Maudhu`i. Jurnal Ilmiah
Serambi Tarbawi, 2(1), 19-34
Tabrani.
ZA. (2015). Arah Baru Metodologi Studi
Islam. Yogyakarta: Penerbit Ombak
Tabrani.
ZA. (2015). Keterkaitan Antara Ilmu Pengetahuan dan Filsafat (Studi
Analisis atas QS. Al-An`am Ayat 125). Jurnal Sintesa, 14(2), 1-14
Tabrani.
ZA. (2015). Persuit Epistemologi of Islamic Studies (Buku 2 Arah Baru
Metodologi Studi Islam). Yogyakarta:
Penerbit Ombak
Tabrani.
ZA. (2016). Aliran Pragmatisme dan
Rasionalisasinya dalam Pengembangan Kurikulum 2013, dalam Saifullah Idris
(ed.), Pengembangan Kurikulum: Analisis Filosofis dan Implikasinya dalam
Kurikulum 2013, Banda Aceh: FTK Ar-Raniry Press 2016
Tabrani. ZA. (2016). Perubahan Ideologi Keislaman Turki (Analisis
Geo-Kultur Islam dan Politik Pada Kerajaan Turki Usmani). Jurnal
Edukasi: Jurnal Bimbingan Konseling, 2(2), 130-146.
Tabrani.
ZA. (2016). Transpormasi Teologis Politik Demokrasi Indonesia (Telaah Singkat
Tentang Masyarakat Madani dalam Wacana Pluralisme Agama di Indonesia). Al-Ijtima`i- International
Journal of Government and Social Science, 2(1), 41-60
Walidin, W., Idris, S
& Tabrani. ZA. (2016). Metodologi Penelitian Kualitatif dan Grounded
Theory. Banda Aceh: FTK Ar-Raniry Press