Oleh: Salamun Ali Mafaz
Wahyu
seksualitas agama, sudah terkandung dalam beberapa ayat misalnya ayat yang
diklaim diperbolehkannya poligami, (fankihu
maa thaba lakum minan nisa masna wa tsulasa wa ruba’) atau
ayat yang berkenaan dengan aturan berhubungan (nisaa ukum hartsun lakum).ayat tentang menyusui
(al-Baqarah: 233) dan ada roman-romanan antara Zulaikha dengan Yusuf (Yusuf:
24).Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang berhubungan dengan dunia remang-remang
dan dunia kelamin ini.
Dalam beberapa hadits juga
banyak yang mengupas tentang masalah seksualitas, bahkan dalam tradisi
pesantren ada kitab yang mengupas khusus masalah dunia kelamin ini, ambil
contoh misalnya kitab Uqud
lujayyin yang mengatur relasi suami-istri, atau kitab qurrotun ‘uyyunyang mengupas
lebih mendalam lagi dunia seksual.Di dalam kitab `Ubab dan lainnya
bahwasanya sunnat dahulu daripada jima` itu memakai bau-bauan kedua laki [dan]
istrinya dan bergurau-gurau dahulu dan bermain-main dengan kelakuan yang menyenangkan
hati istrinya, dan membangkitkan syahwat. Disebutkan di dalam kitab Syaikh
Zarruq bahwa `ulama mengatakan: jima` dengan tiada mengerjakan sesuatu yang
mendatangkan birahi perempuan itu akan mengakibatkan pada anaknya cacat, kurang
pintar dan penyakit. Dan apabila keluar mani suaminya lebih
dahulu, seyogyanya hendaklah menunggu sampai puas istrinya. Intinya di dalam
pesantren sekalipun, dunia seksualitas masih mendapatkan porsi yang khusus
untuk dijadikan bahan pegangan kehidupan berumah tangga.
Kenapa
dunia seksualitas selalu dianggap najis bahkan diklaim sebagai lingkaran setan,
nyatanya tidak demikian, masalah seksualitas agama sudah mengatur lebih
mendalam tentang hal demikian, namun mungkin perbedaannya lebih dikemas secara
bermoral, beda dengan wacana lain yang seakan ditampilkan agak senonoh dan
tidak bermoral.
Masalah
hasrat seksual manusia, tentunya kita kembalikan kepada masing-masing individu,
seperti apa pengalaman dan insting mereka. Misalnya, seseorang yang hidup di
Eropa tidak bisa disamakan dengan seseorang yang hidup di Timur Tengah. Atau
contoh lainnya misalkan, seseorang yang hidup di Pulau Bali, Papua, tidak bisa
disamakan dengan seseorang yang hidup di Pulau Jawa. Dengan demikian, cara
pandang dalam menyikapi masalah seksual tidak bisa disamakan, dan tentunya
masalah hukum saya rasa perlu adanya pertimbangan khusus. Dalam kaidah ushul
fiqih terdapat kaidah al
hukmu yadurru ma’alillah wujudan wa ‘adaman dan kaidah al’adah muhakkamah.
Sejatinya,
wahyu seksualitas agama memang sudah ada, namun bedanya sebelum wahyu yang
turun kepada Nabi Muhammad. Kancah seksualitas dilakukan secara binal dan penuh
dengan eksploitasi terhadap perempuan. Kita tahu sendiri bagaimana hasrat
seksual bangsa Arab pada waktu itu, Al-Quran sendiri menyebutnya sebagai
assyadul kufr wan nifaq, baru setelah wahyu turun kepada Nabi, masalah seksual
ini agak diberi rambu-rambu khusus termasuk aturan dalam berpoligami. Akan
tetapi mau tidak mau sebenarnya masalah poligami hanyalah menjurus kepada
masalah seksual dan pemenuhan hasrat belaka.
Dalam
prespektif religius, agama-agama memiliki dasar pengetahuan mengenai wilayah
ini, berkat pewahyuan yang mereka terima; karena itu agama merasa mampu
mengatasi kebimbangan terhadap wilayah remang ini dan menetapkan perilaku normatif
untuk mengantisipasinya. Agama yang berkembang menjadi lembaga resmi dalam
menjalankan fungsi sosial, karena posisi pengetahuannya, dan merasa berhak
mengendalikan, baik dengan norma-norma maupun upacara-upacara. Namun manusia
modern sebagai subjek yang berhasrat (the desiring subjek) rupanya mempunyai
keberanian bertualang untuk memasuki wilayah remang dengan resikonya sendiri,
daripada mentaati rambu-rambu yang dicanangkan agama.
Dalam
agama, sangat jelas tampak berlangsungnya konspirasi pengetahuan-kekuasaan.
Pengetahuan yang terungkap di dalam norma-norma yang mengatur kehidupan
seksualitas penganutnya adalah salah satu sisi dari mata uang yang sama dari
kekuasaan. Visi tentang tubuh sangat mewarnai agama-agama dalam merumuskan
norma-norma yang terkait dengan seksualitas. Pengetahuannya itu menentukan
perilaku, cara berpikir, cara berbicara, cara berpakaian penganutnya.
Dapat
dilihat bahwa dengan adanya isu seksualitas, naluri “agama” yang sebelumnya
tidak pernah tampak dalam mengurus moralitas publik, perlahan mulai kambuh.
Dalam tayangan di televisi, maupun media banyak ditampilkan gambaran agama
sebagai hakim moral yang dapat menyelesaikan masalah, yang hanya dengan doa dan
fatwa.
Agama
manapun sebenarnya memiliki potensi untuk memunculkan pandangan negatif tentang
seksualitas. Walaupun demikian, agama memiliki batasan-batasan tersendiri
terhadap seksualitas, karena agama sebagai institusi juga berhak mengarahkan
para pemeluknya pada suatu normalitas tertentu. Dengan demikian, agama
mempunyai kepentingan dengan tubuh dan kejasmaniahan para pemeluknya, melalui
para agen-agennya agam membuat peraturan religius tertentu tentang cara
berpakaian, cara bergaul, dan etika dalam hubungan seksual.
Manusia
diciptakan dengan tubuh dan hidup dengan dengan anggota tubuhnya, dalam
pengalaman inilah ia bersekutu dengan hewan, yang sama-sama juga mengandalkan
tubuh untuk memuaskan nalurinya. Walupun demikian, disisi lain manusia juga
diciptakan dengan jiwa dan pikiran. Menurut para filusuf muslim, adanya jiwa
dan pikiran inilah yang membuat manusia, meski memiliki status hewani, setara
dan bahkan lebih mulia daripada para malaikat. Dengan begitu, pada dasarnya
manusia adalah “mahluk yang unik” karena diciptakan dengan dua potensi yang
berbeda. Di satu sisi, ia bukanlah malaikat yang beribadah melulu dan suci dari
dosa, sebab ia hidup dengan tubuh dan naluri seksualnya. Sementara disisi lain,
ia juga bukan hewan yang secara liar memuaskan tubuhnya. Keunikan inilah yang
konon membuat para malaikat menjadi iri, sehingga merekapun menggugat
tuhan “attaj’alu fiyha man
yufsidu fi al-ard wa yasfiku ad-dima”, Tuhan membalas gugatan
malaikat dengan “inni a’lamu ma la ta’lamuun”, Tuhan lebih mengetahui dari pada
para malaikat tentang kemampuan manusia menjadi khlifatullah fi al-ard.
Dari
cerita Kitab Suci, tampak bahwa Tuhan sebenarnya tidak mempermasalahkan masalah
seksualitas. Tubuh manusia bukanlah ancaman bagi agama, karena Tuhan dengan
segala ampunannya dihadirkan kepada manusia, justeru lewat tubuh itu manusia
mempunyai suatu keunikan yang membedakannya dari malaikat. Tanggapan kaum
agamawan terhadap apapun yang terkait dengan tubuh, kelamin, dan seks tidak
jauh dari vonis moral. Awalnya adalah keprihatinan pada merosotnya “moral
bangsa” yang kemudian berubah menjadi penilaian dan stereotip, hingga akhirnya
muncul penghakiman-penghakiman.
Pada
Abad Pertengahan, banyak raja menikmati jamuan selir-selirnya, sementara di
dinding-dinding mereka terpampang ayat-ayat suci. Dan pada zaman modern, di
Arab Saudi yang dikenal ketat menerapkan syariat Islam, banyak majikan
memperlakukan para pembantu perempuannya secara tidak senonoh, di tempat dimana
Kitab Suci setiap waktu dilantunkan, seks diam-diam jadi pemandangan
sehari-hari. Moralitas puritan, meminjam istilah Farid Esack, muncul dari
“teologi hukuman” (theology
of punishmen). Setiap pelanggaran apapun terhadap agama, harus
segera dihukum. Dalam teologi ini, Tuhan dibayangkan sebagai hakim yang
menghukum kesalahan hamba-Nya, kesalahan apapun tidak bisa ditoleransi, karena
hukum agama sudah jelas menetapkan siapa yang taat dan siapa yang berdosa.
Agama
Sebagai Pengatur
Sepanjang
sejarah, persepsi agama terhadap tubuh terus berubah dan berganti rupa,
terkadang aagama mengklaim positif dan terkadang juga negatif. Tetapi,
tubuh selalu menjadi persoalan penting dalam agama karena keberadaannya
yang selalu didialektiskan dengan “roh” atau “jiwa”. Perbincangan apap pun
tentang tubuh dalam agama, secara implisit maupun esplisit, pasti menyiratkan
upaya mempertentangkan atau mempertemukan antara tubuh dengan roh/jiwa, tak
terkecuali dalam agama Semitik.
Agama
Yahudi, misalnya mengembangkan pandangan yang relatif positif terhadap tubuh.
Para pemeluk agama Yahudi tidak mengenal dikotomi tubuh dan jiwa sebagimana
yang ditanamkan secara turun temurun dalam filsafat dan kebudayaan Yunani.
Agama Yahudi tidak menafikkan seksualitas dan menganggapnya sebagai berkah yang
harus dirayakan. Seks bukanlah persoalan yang harus dikutuk dan ditakuti,
bahakan aktivitas-aktivitas seksual seperti bersetubuh dan bercinta disikapi
secara wajar. Bahkan konon dalam Perjanjian Lama, begitu banyak ajaran-ajaran
moral yang dibumbui dengan metafora tentang persengamaan, anggur, dan
percintaan. Pada hari Sabat, sembari istirahat dari kesibukan duniawi, umat
Yahudi dianjurkan untuk memanjakan tubuh dengan makan, minum, dan kesenangan
lahiriah lainnya, hari Sabat dipuji-puji dengan metafora sensual “pengantin
suci” yang kedatangannya selalu dinanti dan didamba.
Agama
Kristen cenderung mengambil sikap yang berbeda dalam menyikapi seksualitas.
Agama ini mewarisi mentalitas Yunani yang ambigu dan mendua tentang tubuh.
Disatu sisi, tubuh diyakini sebagai penjelmaan dari roh kudus sehingga bersifat
sakral, suci, dan memiliki kualitas spiritual. Tetapi disisi lain, tubuh tetaplah
sebuah ancaman terhadap jiwa dan pikiran, karena tubuh sering dinilai
menjerumuskan manusia ke adalm dosa dan nista.
Umat
Islam, seperti umumnya umat Yahudi dan Kristen, dalam hal tertentu juga menaruh
rasa curiga tehadap tubuh perempuan sebagai sumber dosa. Sebagian pandangan
negatif itu muncul dari kultur Arab saat itu, yang memang memandang perempuan
sebagai manusia kelas dua, dan sebagiannya lagi merupakan penafsiran yang bias
terhadap Kitab Suci dan sunnah Nabi. Kedua hal ini memberikan pandangan yang
sempit terhadap tubuh sebagai instrumen seksual yang harus diwaspadai dan
diawasi. Agama Islam yang terlahir di Arab, tidak dapat dipungkiri lagi
bersinggungan dengan mentalitas patriarki yang berkembang pada tradisi-tradisi
monoteis sebelumnya. Sebuah mitos yang berkembang sejak dulu, namun masih terus
dipertahankan hingga saat ini, meyakini bahwa laki-laki mempunyai gairah dan
kekuatan seksual yang lebih kuat dari pada perempuan. Atas dasar inilah umat
Islam membatasi seksualitas aktif perempuan untuk menjaga perempuan tetap dalam
wilayah domestiknya. Dan menempatkan tubuh perempuan secara terus-menerus di
bawah pantauan agama, karena agama menginginkan perempuan tetap bergantung
padanya tanpa pernah mampu untuk mandiri.
Dalam
pandangan Islam, juga agama-agama umumnya, hakikat manusia bukanlah pada
tubuhnya, melainkan pada ruhaninya, pada hati dan pikirannya, yang
teraktualisasi pada akhlak dan amal perbuatannya. Maka berbeda dengan binatang,
tidaklah sepantasnya manusia mempertaruhkan harga dirinya pada tubuhnya. Dalam
perspektif ini, maka manusia yang suka memamerkan tubuhnya, pada dasarnya
tengah merendahkan martabatnya, membinatangkan dirinya. Pamer tubuh lazimnya
dimotivasi oleh keinginan mendapatkan reaksi yang setimpal, reaksi tubuh yang
bermuara pada nafsu yang juga khas tubuh, libido.
Pada
dasarnya orang yang pamer keindahan tubuhnya adalah orang yang juga tidak
memiliki kepekaan terhadap orang lain, terutama yang kebetulan
dianugerahi tubuh yang buruk, cacat. Tubuh indah atau buruk adalah anugerah
Tuhan, dengan hikmahnya masing-masing. Manusia tidak berhak menyombongkannya
atau pun mencelanya. Memamerkan aurat dengan dalih hak asasi manusia. Karena
sejatinya hak asasi manusia adalah hak yang melekat secara kodrati pada diri
manusia sebagai makhluk Tuhan demi mempertahankan eksistensi dan martabatnya.
Secara
umum, umat beragama tengah menghadapi dua arus besar yang sama dahsyatnya.
Yaitu kapitalisme dan patriarki. Keduanya saling memberikan pandangan yang
sempit bagi penyempitan makna tubuh dan seksualitas. Kapitalisme bekerja
mendistorsi tubuh untuk dijadikan komoditas. Sementara patriarki
mendiskriminasi tubuh agar tunduk dan patuh pada norma yang ada. Umat Islam
berada dalam dua himpitan tersebut, di lingkungan tradisional patriarki
terlihat lebih dominan. Disini tubuh dianggap identik dengan tabu, dan
pembicaraan apapun tentang seksualitas akan ada vonis moral. Sementara di
lingkungan yang lebih modern dan terbuka, kapitalisme mengambil alih patriarki
dengan membiarkan tubuh secara liar untuk dijadikan objek, komoditas, dan
hiburan. Agama dapat mengimbangi dua arus besar itu dengan semangat yang
membebaskan manusia dari tindakan diskriminatif dan seimbang dalam urusan
seksual.
Kontroversi
Seksualitas
Pandangan
Freud tentang seksualitas, terutama yang menyangkut anak-anak, menimbulkan
kegemparan yang hebat pada zamannya. Ia mengatakan bahwa naluri seksual jauh
lebih rumit daripada apa yang ada dalam anggapan orang sebelumnya. Impuls
seksual telah ada sejak dilahirkan, tetapi segera disingkirkan oleh proses
reresi yang progresif. Seksualitas dari para penderita neurosis dan
penyimpangan biasanya masih berada dalam keadaan atau dikembalikan ke masa
kanak-kanaknya. Masa kanak-kanak dan puberitas dipenuhi dengan berbagai
hambatan seksual dan perkembangannya bisa menjadi salah arah atau berhenti pada
suatu tahap (fiksasi).
Definisi
Freud tentang apa yang disebut seksual itu luas tidak seperti pemahaman
kebanyakan orang tentang seksual. Teorinya tentang berkembangnya anak secara
seksual telah menjadi suatu model bagi perkembangan psikologis dan sosial pada
umumnya. Menurut Freud, perkembangan seksual yang normal seharusnya melewati
tahap-tahap tertentu yang berlaku pada semua anak yakni tahap oral, anal,
phallic, latensi, dan gemital. Orang bisa jadi terpaku pada tahap yang manapun.
Kejadian ini disebut fiksasi. Freud mengembangkan suatu teori yang
menggemparkan, yang disebutnya komplek Oedipus. Untuk menjelaskan dasar dari
perkembangan psiko-seksual.
Menurut Michel Foucault,
seks merupakan bagian dari ciri manusia sebagai mahluk yang berhasrat (the desiring subject). Pada
zaman Yunani kuno, orang-orang mengolah hasrat seks menjadi bagian dari
kegiatan yang sejajar dengan filsafat (philoshopy), ekonomi (economic), dan pengelolaan
kesehatan (dietetics).
Tampaknya Foucault
memperlihatkan, bahwa kegiatan seks pun mempunyai prestise yang tinggi. Dan seperti halnya kegiatan-kegiatan yang lain, kegiatan seks pun
memerlukan pengelolaan yang tidak sederhana, strategi dan perencanaan,
pertimbangan dan keputusan yang tepat (The
History of Sexsuality, vol. 2, Penguin Books, 1985). Akan
tetapi dalam Abad Pertengahan atau era Kristen di Eropa, kegiatan seks
menjadi sesuatu yang dianggap berbahaya dan ditakuti. Agamawan Kristen
menjadikan seks sebagai sosok yang perlu diwaspadai karena menimbulkan hasrat
yang kuat yang disebut nafsu, dan diberi label khusus sebagai “daging” (caro).
Salah
satu buku psikologi yang menarik tentang seks ditulis oleh Eric Berne.
Judulnya, Sex in Human
Loving (Penguin Books, 1970) buku in telah dicetak
berulang-ulang kali, sebelumnya Eric Berne juga menerbitkan buku yang sangat
laris, Game People Play (Penguin
Books, 1964). Dalam Sex in Human Loving, Berne
tampaknya mengembangkan pikiran tentang permainan seks dalam pergaulan manusia.
Charles Pickstone, seorang
pendeta Anglikan, dalam For
Fear of the Angles (Hodder and Stoughton, London, 1996)
mengemukakan perkembangan tendensi manusia dewasa ini dalam menggunakan seks
untuk menggeser peran agama dalam hasratnya menyelami misteri dibalik
kehidupan.
Franz Magnis Suseno,
seorang rohaniawan Katolik mendefinisikan tentang kepornoan tersebut. Menurutnya, ada tiga kategori dalam soal ini yaitu indesensi, erotis dan
porno. Indesensi adalah perilaku tak sopan, erotis bermakna lebih kepada
kesadaran si subyek yang melihat, sedangkan porno adalah yang menyangkut
kelamin, payudara dan hubungan seks di muka umum. Porno adalah segala apa yang
merendahkan manusia sebagai obyek nafsu seksual saja. (Suara Pembaruan 22/02).
Pada
zaman tradisional, manusia tidak terlalu peduli dengan penutup dari tubuh
mereka. Pada saat itu pakaian tidak terlalu penting sehingga mereka harus
mengenakannya. Ataupun kita bisa melihat sebagian warga kita di Papua di mana
mereka hanya memakai koteka kemana pun mereka pergi. Akan tetapi sekarang ini
pakaian bukan hanya menjadi kebutuhan untuk menutup tubuh (sebagai standar
moral tertentu) tetapi sudah masuk ke dalam dunia modedi mana manusia dipaksa
untuk memilih jenis pakaian tertentu untuk waktu tertentu dan tempat tertentu.
Saat
ini fungsi pakaian tidak sekedar menutup tubuh untuk menghindari hawa dingin
atau sejenisnya, tetapi sudah merupakan simbol untuk mengkomunikasikan kepada
orang lain darimana dan dari golongan siapa mereka berasal. Pakaian, sekarang
ini juga menunjukkan tentang kehalusan perempuan dan keperkasaan laki-laki.
Apalagi kecantikan, dimana dahulu kecantikan dianggap sebagai nasib atau
anugrah yang alami tetapi sekarang ini kecantikan bisa diperoleh dimana-mana
dengan definisi tertentu; rambut hitam panjang, kaki jenjang, gigi rata putih,
perut langsing dan lain-lain.
Namun,
ada hal lain yang lebih penting dari sekedar tubuh. Hakikat manusia sebenarnya
bukanlah pada tubuhnya melainkan pada ruhani, hati dan pikirannya yang
teraktualisasi pada akhlak dan amal perbuatannya. Banyak sekali ayat al-Qur'an
yang justru mempertanyakan keadaan pikiran dan hati manusia (afala ta'qilun, afala tadabbarun, afala
tatafakkarun). Inilah yang membedakan manusia dengan binatang
yaitu bukan pada tubuhnya tetapi akal dan pikirannya. Bahkan manusia yang tidak
menggunakan akalnya akan dicap lebih hina dari binatang. Sungguh mengerikan
nasib tubuh yang terpenjara oleh teks, baik teks keagamaan maupun
undang-undang.
Kalau
masih mau berbicara tentang ‘tubuh’ untuk diatur lebih detail, seharusnya pembuat
kebijakan harus memiliki keperihatinan dan kepekaan atas nasib orang-orang yang
hidup dengan keterbatasan tubuhnya agar lebih diperhatikan nasib dan hak
sebagai warga negara. Atau mereka secara fisik sempurna, tapi hak-hak tubuhnya
terampas oleh bentuk ketidakadilan ekonomi dan sosial. Dengan cara pandang
seperti ini, jika ada manusia yang setiap hari sibuk dengan ‘tubuhnya’, maka
sebenarnya telah merendahkan martabatnya. Apalagi jika memamerkan tubuh
dimotivasi untuk mendapatkan uang misalnya, menyebarkannya melalui media maka
implikasinya akan jauh lebih buruk. Oleh karenanya, aplikasikan wahyu
seksualitas agama dengan akal pikiran dan hati nurani yang bersih.
*Tulisan
ini pernah dimuat di Majalah Bhinneka
Sumber:
https://www.kompasiana.com/manajemenamal.blogspot/seksualitas-dalam-agama_5529119ff17e6162338b45c0
Referensi Tambahan
Idris, S & Tabrani, Z. A. (2017). Realitas Konsep Pendidikan Humanisme
dalam Konteks Pendidikan Islam. Jurnal Edukasi: Jurnal Bimbingan
Konseling, 3(1), 96-113.
Musradinur
& Tabrani. ZA. (2015). Paradigma Pendidikan Islam
Pluralis Sebagai Solusi Integrasi Bangsa (Suatu Analisis Wacana Pendidikan
Pluralisme Indonesia). Proceedings 1st Annual International Seminar on
Education 2015.
Banda Aceh: FTK Ar-Raniry Press, 77-86
Tabrani. ZA & Hayati.
(2013). Buku Ajar Ulumul Qur`an (1). Yogyakarta:
Darussalam Publishing, kerjasama dengan Universitas Serambi Mekkah, Banda Aceh
Tabrani. ZA & Masbur, M. (2016). Islamic Perspectives on
the Existence of Soul and Its Influence in Human Learning (A Philosophical
Analysis of the Classical and Modern Learning Theories). Jurnal Edukasi: Jurnal Bimbingan
Konseling, 1(2),
99-112.
Tabrani.
ZA. (2008). Mahabbah dan Syariat. Selangor: Al-Jenderami Press
Tabrani.
ZA. (2009). Ilmu Pendidikan Islam (Antara Tradisional dan Modern). Selangor: Al-Jenderami
Press
Tabrani. ZA. (2011).
Dynamics of Political System of Education Indonesia. International Journal
of Democracy, 17(2), 99-113
Tabrani. ZA. (2011). Nalar
Agama dan Negara dalam Perspektif Pendidikan Islam. (Suatu Telaah Sosio-Politik
Pendidikan Indonesia). Millah Jurnal Studi Agama, 10(2), 395-410
Tabrani.
ZA. (2011). Pendidikan Sepanjang Abad (Membangun Sistem Pendidikan Islam di
Indonesia Yang Bermartabat). Makalah disampaikan pada Seminar Nasional 1
Abad KH. Wahid Hasyim. Yogyakarta: MSI UII, April 2011.
Tabrani. ZA. (2012). Future
Life of Islamic Education in Indonesia. International Journal of Democracy,
18(2), 271-284
Tabrani. ZA. (2012). Hak
Azazi Manusia dan Syariat Islam di Aceh. Makalah disampaikan pada International
Conference Islam and Human Right, MSI UII April 2012, 281-300
Tabrani.
ZA. (2013). Kebijakan Pemerintah dalam Pengelolaan
Satuan Pendidikan Keagamaan Islam (Tantangan Terhadap Implementasi Manajemen
Berbasis Sekolah), Jurnal Ilmiah Serambi Tarbawi, 1(2), 65-84
Tabrani.
ZA. (2013). Modernisasi Pendidikan Islam (Suatu Telaah Epistemologi
Pendidikan), Jurnal Ilmiah Serambi Tarbawi, 1(1), 65-84
Tabrani.
ZA. (2013). Pengantar Metodologi Studi
Islam. Banda Aceh: SCAD
Independent
Tabrani.
ZA. (2013). Urgensi Pendidikan Islam dalam Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal
Sintesa, 13(1), 91-106
Tabrani.
ZA. (2014). Buku Ajar Filsafat Umum. Yogyakarta: Darussalam Publishing, kerjasama
dengan Universitas Serambi Mekkah, Banda Aceh
Tabrani.
ZA. (2014). Buku Ajar Penelitian Tindakan Kelas (PTK) (Bahan Ajar untuk
Mahasiswa Program Srata Satu (S-1) dan Program Profesi Keguruan (PPG)). Banda Aceh: FTK Ar-Raniry Press
Tabrani.
ZA. (2014). Dasar-Dasar Metodologi
Penelitian Kualitatif. Yogyakarta:
Darussalam Publishing
Tabrani. ZA. (2014). Islamic Studies dalam Pendekatan Multidisipliner
(Suatu Kajian Gradual Menuju Paradigma Global). Jurnal Ilmiah Peuradeun, 2(2),
127-144.
Tabrani.
ZA. (2014). Isu-Isu Kritis dalam Pendidikan
Islam. Jurnal Ilmiah Islam Futura,
13(2), 250-270
Tabrani. ZA. (2014). Menelusuri Metode Pendidikan dalam Al-Qur`an dengan Pendekatan Tafsir
Maudhu`i. Jurnal Ilmiah Serambi Tarbawi, 2(1),
19-34
Tabrani.
ZA. (2015). Arah Baru Metodologi Studi
Islam. Yogyakarta: Penerbit Ombak
Tabrani.
ZA. (2015). Keterkaitan Antara Ilmu Pengetahuan dan Filsafat (Studi
Analisis atas QS. Al-An`am Ayat 125). Jurnal Sintesa, 14(2), 1-14
Tabrani.
ZA. (2015). Persuit Epistemologi of Islamic Studies (Buku 2 Arah Baru
Metodologi Studi Islam). Yogyakarta:
Penerbit Ombak
Tabrani.
ZA. (2016). Aliran Pragmatisme dan
Rasionalisasinya dalam Pengembangan Kurikulum 2013, dalam Saifullah Idris
(ed.), Pengembangan Kurikulum: Analisis Filosofis dan Implikasinya dalam
Kurikulum 2013, Banda Aceh: FTK Ar-Raniry Press 2016
Tabrani. ZA. (2016). Perubahan Ideologi Keislaman Turki (Analisis
Geo-Kultur Islam dan Politik Pada Kerajaan Turki Usmani). Jurnal
Edukasi: Jurnal Bimbingan Konseling, 2(2), 130-146.
Tabrani.
ZA. (2016). Transpormasi Teologis Politik Demokrasi Indonesia (Telaah Singkat
Tentang Masyarakat Madani dalam Wacana Pluralisme Agama di Indonesia). Al-Ijtima`i- International
Journal of Government and Social Science, 2(1), 41-60
Walidin, W., Idris, S
& Tabrani. ZA. (2016). Metodologi Penelitian Kualitatif dan Grounded
Theory. Banda Aceh: FTK Ar-Raniry Press