Oleh: Prof. Dr. Cahyono Agus
Generasi Emas 2045 telah
dicanangkan oleh Mendikbud Muhammad Nuh saat peringatan Hardiknas 2 Mei 2012, sebagai
proyeksi generasi yang akan menjadi pelaku utama bagi 100 tahun Kemerdekaan
Indonesia. Generasi utama yang mampu berprestasi menjulang tinggi dibanding
generasi sebelumnya dan bangsa lainnya untuk mewujudkan Bangsa Indonesia yang
besar, maju, jaya dan bermartabat.
Generasi berkarakter “generasi emas” haruslah memiliki kompetensi, karakter,
gaya hidup, nilai relijius dan fighting spirit unggulan dalam kehidupan. Juga
memiliki sikap, pola pikir, konsep dan berperadaban unggul dengan wawasan yang
cerdas, luas, mendalam, produktif, kreatif, inovatif, dan futuristik. Memiliki kompetensi, karakter,
gaya hidup dan fighting spirit unggulan dalam kehidupan. Sehingga menumbuhkan tanggung-jawab dan
kontribusi nyata dalam mewujudkan lingkungan dan kehidupan yang sehat, damai, bermartabat
dan berkelanjutan seutuhnya.
Bonus Demografi Indonesia akan
berlangsung antara tahun 2012 – 2035. Menurut Badan Pusat Statistik 2011, jumlah
anak usia 0-9 tahun mencapai 45,93 juta, sedangkan anak usia 10-19 tahun
berjumlah 43,55 juta jiwa. Mereka inilah anak-anak kader Generasi Emas 2045, yang
harus mendapat pendidikan unggulan secara sungguh-sungguh. Jangan sampai
berbalik menjadi bencana demografi membebani Indonesia. Kelompok anak usia dini
0-9 tahun merupakan masa keemasan (the golden age) seorang anak, menjadi
periode yang sangat penting dalam perkembangan fisik dan mental seorang manusia.
Pembebanan pembelajaran pada baca,
tulis hitung (calistung) maupun Ujian Nasional (UNAS) bagi anak didik usia emas,
nampaknya justru tidak menjadikan anak didik menjadi insan pembelajar yang baik.
Anak didik justru tertekan, mengambil jalan pintas, curang, korupsi, orientasi
nilai, kehilangan substansi dan integritas. Anak didik menjadi terpisahkan
dengan nilai budaya dan kemanusiaan, sehingga menganggap pelajaran di sekolah
sebagai momok yang berat, sulit, menakutkan, menjemukan, jenuh, membosankan
namun menjadi kewajiban yang harus dipaksakan. Anak didik menjadi mudah tergoda
untuk bermain, game, entertainment, permainan dengan teknologi canggih yang
menyenangkan, sesuai selera, mengerti kebutuhan, serasa menyatu dalam kehidupan
dan membikin ketagihan anak. Demikian juga perploncoan pada awal pembelajaran
justru menjadikan individu yang pendendam, suka kekerasan, ego, tidak tepo
sliro, bahkan ketika sudah menjadi pemimpin bangsa saat inipun justru semakin
arogan dan mau menangnya sendiri.
Siswa usia emas di Jepang lebih
banyak diajari etika, moral, budaya, kemandirian, kedisiplinan, tanggung jawab, sesuai dengan perkembangan anak, tanpa beban
berat pelajaran calistung. Tidak ada tes ujian dari tingkat pertama sampai
tingkat ke tiga (setara SD kelas 1 sampai SD Kelas 3), karena tujuan pendidikan
adalah untuk menanamkan konsep dan pembentukan karakter, bukan hanya tes dan
indoktrinasi.Pelajar adalah masa depan Jepang, sehingga dipersiapkan dengan
matang. Finlandia menduduki rangking pertama dalam Global Education Rank sedunia justru karena sistem pendidikan yang
mengharuskan sekolah tidak lama dan tidak ada pekerjaan rumah. Namun selalu
dengan pemaknaan pada setiap proses pembelajaran.
Menurut Rossabeth Moss Kanter, generasi
masa depan akan didominasi oleh nilai-nilai dan pemikiran cosmopolitan, sehingga
dituntut memiliki 4C yaitu: concept, competence, connection, dan confidence. Untuk
melahirkan para inspirator, inisiator, motivator, dan organisator bangsa yang
kompeten. Thomas J. Stanley menunjukkan bahwa dari 100 faktor yang berpengaruh
terhadap kesuksesan seseorang, IQ hanya diurutan ke-21, bersekolah di sekolah
favourite diurutan ke-23, dan lulus dengan nilai terbaik/hampir terbaik cuma
faktor sukses diurutan ke-30. Sementara 10 faktor pertama utama adalah: jujur, disiplin,
trampil, dukungan keluarga, kerja keras, mencintai pekerjaan, kepemimpinan, semangat
& berkepribadian kompetitif, pengelolaan kehidupan, dan kemampuan menjual
gagasan & produk.
Indonesia harus melakukan
restorasi (pembaharuan, revolusi) pendidikan dengan menemu kenali kembali pada
“khithah” sistem pendidikan nasional yang tepat. Yang berakar kuat pada nilai
religious dan budaya leluhur nasional sendiri dengan reformulasi kekinian, mengacu
pada sistem pendidikan yang menyenangkan
(edu-tainment) yang mementingkan nilai budaya dan kemanusiaan. Sebagaimana
yang telah diterapkan oleh Ki Hadjar Dewantara (KHD) saat mendirikan Perguruan
Taman Siswa tahun 1922 di Yogyakarta. Karena kesenian nasional dapat menanamkan
benih atau bekal budi pekerti (watak atau tabiat) yang akan merapatkan jiwa
anak pada kebangsaannya. Sedangkan dengan pelajaran kesenian, kita bisa
membentuk jiwa dan raga anak, sehingga kelak akan mencapai derajat manusia
utama serta dapat menyusun perikehidupan yang pantas dalam masyarakat yang akan
dipikul bersama sama oleh mereka sekalian.
Dalam sistem Tri Pusat Pendidikan
KHD , yang utama justru lingkungan keluarga, yang berperan besar dalam
meletakkan dasar-dasar budi pekerti, watak, karakter anak. Jadi tidak bisa
ditinggalkan hanya dengan alasan apapun, seperti tidak sempat, sibuk dsb. Lingkungan
sekolah, berperan melejitkan ‘kebaikan’ anak, membimbing perubahan ‘nature ke
culture’ nya anak sesuai kodratnya, sekaligus mereduksi, meredupkan, mengaburkan
watak-watak buruk bawaan akibat pengaruh di keluarga maupun di lingkungan
sekitarnya (seperti merokok, suka ‘misuh’, emosian/temperamental dll). Inilah
mengapa posisi sekolah berada di tengah-tengah antara keluarga & lingkungan.
Fungsinya juga menyiapkan sang anak agar mampu secara merdeka dalam arti
mandiri bertanggungjawab terhadap diri dan ketertiban sekitarnya, dalam
bergabung dengan lingkungan sosialnya di manapun berada. Pada usia emas dini, pembiasaan
jiwa anak akan ‘keindahan’ baik sikap, tutur kata, tindakan, keyakinan, pemikiran,
impian, angan-angan akan banyak sekali menuntun mereka di usia dewasa. Basis
pendidikan religious dan seni budaya akan mengasah hal ini secara hampir
sempurna.
Sistem among yang harus
dikembangkan adalah metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih,
asah dan asuh (care and dedication based on love). Dalam sikap Momong, Among, dan
Ngemong, terkandung nilai yang sangat mendasar, yaitu pendidikan tidak memaksa
namun bukan berarti membiarkan anak berkembang bebas tanpa arah. Metode Among mempunyai
pengertian menjaga, membina dan mendidik anak dengan kasih sayang. Menjadi
manusia merdeka yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek
kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan menghormati nilai kemanusiaan
setiap orang. Sesuai dengan petuah Ki Hadjar “educate the head, the heart, and
the hand”.
Pengetahuan & kepandaian
hanya sekedar alat, buah pendidikan adalah matangnya jiwa, yang dapat
mewujudkan hidup & penghidupan yang tertib & suci serta bermanfaat bagi
orang lain. Tembang, Lagu dan Gerak dalam metode pendidikan anak mampu
menstimulus anak untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Tantangan dunia di
era digital ini, anak-anak akan semakin berjarak dengan lingkungannya. Mari
kita menjulangkan prestasi tinggi dengan kembali pada metode pembelajaran yang
berakar kuat pada nilai religious dan budaya leluhur.
Sumber: http://acahyono.staff.ugm.ac.id/2016/05/wacana-pendidikan-untuk-generasi-emas-oleh-prof-dr-cahyono-agus.html
Sumber: http://acahyono.staff.ugm.ac.id/2016/05/wacana-pendidikan-untuk-generasi-emas-oleh-prof-dr-cahyono-agus.html